Bertemu Lagi

4 1 0
                                    

Aku melihatnya lagi. Setelah sekian lama, kembali aku melihat senyuman itu. Senyum yang ketika mengembang, dua lesung pipi akan langsung menghias pipinya. Aku ingin menyapa, tapi ragu malah menghadang.

Bukankah aku yang memutus tali hubungan? Pernah berujar padanya untuk tidak bertemu lagi. Lalu, hari ini? Kami kembali bertemu. Tuhan, aku sangat merindukannya!

Dari jauh aku memperhatikannya. Ramah. Dia selalu ramah kepada semua orang. Menjabati tangan mereka dan tertawa bersama. Sebetulnya aku iri, andai dia juga seperti itu padaku. Maksudnya, aku juga ingin tertawa bebas seperti itu padanya.

Aku menghela napas. Kue yang sedari tadi ku makan ini,mendadak berubah rasa. Tak semanis lagi. Nyatanya, perasaan itu masih ada bahkan semakin besar. Lagi, kenapa aku yang harus menderita seperti ini. Kenapa?

Dia lelaki yang kusukai empat tahun lalu. Aku bertemu dengannya pada sebuah acara perusahaan, dia berasal dari kantor cabang. Awalnya, aku tak memiliki harapan apa-apa padanya. Hari itu, aku baru saja putus dengan kekasihku yang memilih pergi dengan gadis lain dan meninggalkan hubungan kami yang sudah berjalan sepuluh tahun lamanya.

Sama seperti yang lain, dia menyapaku terlebih dahulu waktu itu. Bertanya ini itu begitu banyak padaku. Aku kurang suka ditanya begitu, sebenarnya. Apalagi dia adalah orang asing yang baru aku kenal hari itu. Namun, semakin lama waktu berjalan semakin aku merasa nyaman berbicara banyak dengannya. Dia selalu punya topik pembicaraan yang menarikku untuk berkomentar panjang.

Sejak itu, kami mulai dekat. Hampir setiap akhir pekan kami keluar menghabiskan waktu bersama. Mengunjungi berbagai museum, membaca buku di perpustakaan, nonton film di Bioskop, atau hanya sekedar berjalan-jalan di sekitaran danau dekat perumahan tempatku tinggal.

Ku akui kehadirannya begitu menghiburku yang berkabung. Dia membuatku lupa tentang patah hatiku. Dan entah kenapa, tak butuh waktu yang lama hanya berkisar dua bulan bersamanya, perasaan itu muncul.

Bukankah itu terlalu cepat? Tapi aku tak bisa membohongi perasaanku sendiri. Iya, semudah itu aku jatuh cinta padanya. Aku yakin dia juga mengetahui hal itu.

Awalnya, aku berpikir semua berjalan lancar. Dia dan aku akan bersama. Sayangnya, aku lupa beberapa hal. Selama bersamaku dia tidak pernah sama sekali membicarakan tentang dirinya sendiri padaku. Bagaimana keluarganya, siapa teman-temannya, atau apakah ia sudah memiliki kekasih atau tidak. Aku buta tentangnya!

Hingga saat klimaks kisah singkat ini, aku tahu fakta yang menyakitkan. Pandora box itu akhirnya terbuka disaat perasaanku padanya begitu menggebu. Sebuah foto seorang gadis terpampang di dompetnya. Gadis manis yang belakangan aku ketahui bernama Aruma dan aku baru mengetahui kalau dia dan Aruma sudah menjalin hubungan selama lima tahun lebih.

Ada perasaan egois waktu itu, aku ingin merebutnya dari Aruma. Tapi, aku tak mampu melakukan hal itu. Aku pernah merasakan sakitnya menjadi korban orang ketiga, bagaimana mungkin aku melakukan hal tersebut pada orang lain.

Aku meringis dengan keadaan. Sangat memuakkan. Aku adalah orang lama yang kalah dengan orang baru dan orang baru yang kalah dengan orang lama.

"Hei!" Aku tersentak. Bayang-bayang masa lalu itu buyar.

Aku mengangkat kepala dan melihat dia yang sudah duduk di hadapanku. Hatiku berdesir. Aku merindukannya sampai ingin menangis. Wajahnya masih sama seperti empat tahun lalu. Aku tak bisa berkata-kata. Bodohnya, aku malah terpaku dihadapannya.

"Apa kabar, Sya?"

"Bbbaik..."

Tuhan, kenapa dia harus tersenyum!

"Syukurlah kamu baik." Matanya menatapku sendu.

Kenapa tatapannya seperti itu?

Aku mengatur detak jantung yang tak karuan. Aku harus terlihat biasa saja. Aku tidak boleh terlihat seperti sangat merindukannya, walau itu benar.

"Lalu, bagaimana denganmu?" Tanyaku.

"Yah, seperti yang kamu lihat Sya. Aku baik juga."

"Baguslah." Aku membuang pandangan. Jujur, air mataku hampir jatuh. Aku begitu merindukannya sampai ingin menangis.

"Sya, apa kamu tidak ingin menanyakan hal lain padaku?"

"Menanyakan apa?" Getar suaraku mulai berubah. Astaga, kenapa sulit sekali menahan tangis!

"Apakah aku masih bersama Aruma. Apa kamu tidak penasaran?" Pancingnya.

Pecah!

Air mata itu akhirnya luluh. Aku segera menutup wajahku dengan telapak tangan. Rasanya sangat memalukan!

Tentu saja aku penasaran soal itu. Tapi apakah aku pantas menanyakan hal itu? Dadaku naik turun. Air mata ini sama sekali tidak bisa diajak kerja sama!

"Sya, ini." Dia menyodorkan selembar tissue.

Dengan masih tangan gemetar, aku meraih tissue itu. Yah, setidaknya itu yang aku butuhkan sekarang.

"Sya, aku dan Aruma sudah selesai. Dia menikahi lelaki lain." Tuturnya.

"Hah?" Aku terkaget mendengar ujarannya barusan.

Bagaimana bisa?

*********

Rumah Yang DitinggalkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang