Batas

10 2 0
                                    

Tak ada yang salah dengan pagi itu, sebetulnya. Mentari bersinar hangat, angin-angin sepoi mensyahdukan pagi. Para santri dan santriwati berseliweran, mengerjakan kegiatan masing-masing. Semua berjalan seperti kebiasaan. Tetapi, lihatlah gadis berkerudung hitam itu. Di tengah kedamaian dunia pesantren, gadis itu malah terlihat lara. Elegi dalam wajahnya terlukis jelas.

Ada apa gerangan?

Rintik gerimis sore itu yang membawamu padaku. Tak pernah kuminta kehadiranmu. Kau yang datang bersama aksara-aksara rayuan mu. Kau berjuang mendapatkan hati, tetapi setelah kau gapai kau hilang seperti reda hujan.

Gadis itu masih di sana. Berdiri tegak menghadap danau yang memisahkan wilayah santri putra dan putri. Sebuah novel tebal terdekap di dadanya dengan erat. Seperti tak ingin kehilangan segala kenangan yang ia punya. Iya, setidaknya ia masih punya kenangan untuk di ingat setiap waktu.

Kau menggambar jelas batas itu. Aku paham betul, seorang budak jelata nan hina seperti aku tak mungkin bersatu denganmu. Seorang putra mahkota yang terbiasa duduk di singgasana. Aku berharap terlalu dalam, padahal aku bukan Cinderella. Aku bermimpi terlalu jauh. Sangat jauh.

Angin sepoi menyentuh wajahnya pelan. Hawa sejuk membuatnya berdesir. Putaran kenangan itu semakin nyata dalam pikirannya. Diam-diam saling mencuri pandang, diam-diam saling berkirim surat, diam-diam saling bertemu. Semua kenangan dibuat dengan diam-diam, hingga sampai perpisahan pun dibuat dengan diam.

*****

"Mbak Ais, Masya Allah! "

"Hah, ada apa toh Nur? "

"Masya Allah, Mbak Ais! Wess aku tak sangka banget loh, Mbak. Gusti Allah, beruntung nya akuuu loh, Mbak! "

"Wes, kenapa? Beruntung kenapa? "

"Mbak tahu ndak, calon istrinya Gus Hisyam ayu tenan loh, Mbak. Masya Allah! "

"Lah, baru tahu toh? Ya ampun, ketinggalan banget kamu loh, Nur. Hahahahah.... "

"Loh, iya Mbak? Oilah, Nur pikir Mbak Ais belum tahu. "

"Sudah, Nur. Kemarin kan Mbak di panggil Nyai, wes jumpa sama Ning Aminah calonnya Gus Hisyam di dalam. "

"Gitu toh, Mbak. Tapi yo, Ning Aminah ayu tenan loh Mbak. Pangling, Nur. "

"Hahahahah... "

Gadis itu terdiam. Memang harusnya diam. Dialog singkat itu mencipta elegi dalam hatinya. Tak ada yang tahu, hanya ia dan sepintas kenangan itu.

Bahkan, untuk sekedar menangisimu aku tak punya hak. Seorang pangeran dan putri memanglah harus bersama. Itu aturannya. Gus dengan Ning. Budak jelata dengan budak jelata. Ada batasnya. Aku salah kemarin, berani melewati batasan.

******

Rumah Yang DitinggalkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang