Sungguh, Bina meresahkan. Bagaimana tidak? Dia tidak mengembalikan baju Valyn dan menyuruhnya untuk pulang dengan baju pemberian Bina. Sedangkan Bina sendiri pulang dijemput. Dan kini hanya ada Lia bersamanya.
Jika langsung pulang ke rumah, itu sangat jauh dan merepotkan. Sekarang bagaimana?
"Mau ke markas dulu? Disana kan ada baju. Kasian gue liat lo," saran Lia sambil terkekeh.
Valyn mengangguk.
Sesampainya di parkiran markas, Valyn menghentikan langkah Lia yang akan memasuki pintu utama.
"Pinjem jaket lo." Ujarnya.
"Nggak nggak, didalem ada. Ayo cepet!" balas Lia menarik tangan Valyn.
Semua kaget dengan seseorang yang Lia seret. Mereka menatap tak percaya yang ada dihadapan mereka.
"Anjir! Lo siapa?" pekik Sandy.
"Lo bawa siapa Li?" tanya Lion yang juga kaget setengah mampus.
Lia memegangi perutnya menahan tawa. "Pliss, masa pada pangling sih," tawanya lepas seketika.
"Temen durhaka," ujar Valyn lalu segera memasuki ruang khusus ciwi-ciwi dan mengganti pakaiannya.
"Itu Valyn? Sejak kapan dia jadi cewek?" tanya Panca memastikan. Wajahnya pun masih kebingungan.
"Sejak tadi diubah Bina." Jawab Lia lalu duduk disebelah Arka.
"Alhamdulillah, dia masih cewek." Ujar Arka tersenyum lega.
"Emang cewek." Sahut Valyn saat keluar dengan celana jeans hitam dan baju berlengan panjang berwarna abu. "Jangan lupa minggu depan bazar amal." Lanjutnya.
"Nggak lupa dong. Gue udah siapin." Jawab Lion.
"Ok. Duluan." Setelah itu Valyn keluar markas.
"Gue juga. Byee!" disusul Lia yang juga akan pulang.
••--🎼--••
"Ngapain sih, lo kesini?" tanya Dika kesal.
"Nggak usah bacot lo! Kalian yang gebukin anggota gue kan?" tanya Avan geram.
Thaka mengernyit. "Anggota gue nggak ada yang gebukin Vander. Setiap hari gue absen, siapa aja yang bikin masalah sama geng lain."
"Halah bohong!" Avan sama sekali tak percaya. Tangannya mengisyaratkan kepada anggotanya untuk segera menyerang Traix.
Aksi baku hantam pun terjadi. Tak ada yang mau mengalah di sini.
Beberapa menit berlangsung, namun mereka masih belum juga usai. Traix yang memang butuh asupan ingin memukul orang pun meladeninya dengan baik.
Karena sudah jengah, Tono-pemilik warung yang tak jauh dari sebelah markas Traix itu berteriak dengan keras. "SAYA SUDAH TELPON POLISI! MAU BUBAR APA KENA TANGKAP, ITU URUSAN KALIAN!"
"Aing suka pak Ton," lirih Leo melirik Tono yang masih heboh ingin menyelesaikan pergeludan ini.
"Cabut!" titah Avan menyuruh anggotanya segera pergi dari sana. Sebelum pergi, Avan berucap kepada Thaka. "Gue gak punya masalah sama geng lo. Tapi kalo lo yang mulai dulu, gue ladenin."
••--🎗--••
"Hai cewek!"
"Buaya kembali berulah," lirih Vaka saat melihat Dika dan Leo tebar pesona sana-sini.
Istirahat pertama mereka memutuskan untuk menikmatinya di rooftop. Mereka sedang menuju ke sana.
"Dek, tau gak bedanya kamu sama matahari?" Tanya Dika menghentikan langkah seorang gadis yang adalah adek kelas.
"Nggak."
"Kalo matahari menyinari bumi, kalo kamu menyinari hatiku." Jawaban Dika diiringi sorakan anak-anak lainnya. Gombalan pasaran itu mah.
Gadis bername tag Zea itu tersenyum manis. "Kakak tau nggak, bedanya kakak sama tong sampah disana?" tunjuknya pada sebuah tempat sampah didekatnya.
"Nggak. Emang bedanya apa?" tanya Dika.
"Nahh, nggak ada bedanya." Setelah itu Zea pergi dengan senyum manis. Meninggalkan Dika yang merasa paling tersakiti.
"Anjir banget ya, Dik?" Tanya Leo menatap melas sahabatnya itu.
"Le, rasanya seperti ditusuk-tusuk." Ujar Dika dramatis dengan menyandarkan kepalanya di bahu Leo dan melangkah kembali menuju rooftop.
Sesampainya di rooftop, mereka mendudukkan diri di beberapa bangku-bangku bekas dan meja yang sudah cukup usang.
"Masa iya sih, ada yang mau adu domba Traix sama Vander?" tanya Nauval heran.
"Kira-kira siapa? Yang benci Traix atau salah satu anggotanya siapa?" Leo juga ikut bertanya-tanya.
"Kalo yang benci kita-kita mah banyak," sahut Vaka dengan pandangan menerawang entah kemana.
"Setau gue Vander itu gak pernah akur sama Rainzors." Ujar Thaka menatap langit biru diatasnya.
"Terus kenapa mereka nuduh Traix kroyok anggotanya? Gue tiap hari udah ngecek siapa aja anggota kita yang serang geng lain." sambung Nauval sambil memakan permen gagangnya.
"Orang jahat ada dimana-mana. Manusia... harus waspada. Tengoklah kanan kiri, dan juga depan belakang. Awas ada... pengkhianat. Prok prok prok." Nyanyian dengan lirik yang diubah Dika sukses membuat semuanya menoleh pada lelaki pencinta kuaci itu. Bisa-bisanya lagu pelakor ada dimana-mana diganti liriknya.
Prok prok prok
Semuanya bertepuk tangan menyoraki nyanyian Dika.
"Belajar darimana Dik?" tanya Vaka menatap Dika yang tersenyum bangga.
"Dari otak gue yang jenius." Jawab Dika dengan pedenya.
"Tapi lagunya relate sih," Nauval mengangguk-anggukan kepalanya sembari berpikir.
Leo menghela napas. Lalu matanya beralih pada pemandangan dibawah sana. Matanya menyipit memastikan bahwa penglihatannya tidak salah. "Itu Valyn bukan sih?" tanyanya.
"Mana-mana?" tanya Thaka lalu ikut melihat ke bawah sana. Tepatnya di sebrang jalan depan gerbang sekolah. Mata gadis itu menatap gerbang sekolah, dan sesekali melihat sekeliling sambil duduk nyaman di atas motornya. Pakaiannya serba hitam, kecuali sepatunya yang bewarna putih.
"Gue baru tau kalo dia bisa make motor gede, dari jauh auranya keren njir," Leo berpikir dengan tangannya yang iseng mengambil kuaci milik Dika.
"Cantik juga." gumam Thaka tersenyum tipis.
"Oh, ada yang jatuh cinta." ujar Vaka yang ikut memakan kuaci milik Dika.
"Apaan? Nggaklah," elak Thaka mengalihkan pandangannya namun sesekali melirik gadis yang berjarak cukup jauh darinya itu.
'Bolos lagi, ya...'
"Lah, emang gue nyindir lo?" tanya Vaka dengan nada mengejek.
Thaka mendengus. Saat pandangannya kembali menatap Valyn, gadis itu sudah memakai helmnya dan mulai menjalankan motornya meninggalkan area SMA Cakrawala.
"Dasar, tukang bolos." Ujar Vaka tanpa berkaca.
.
.
.
To be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Ice (On Going)
Roman pour AdolescentsTentang Miss ice, segala lukanya, dan rahasianya. • Update 2 minggu sekali •