#1 AWAL

197 79 153
                                    

-Raiz-

_Hari ke-7 : 14 November 2015_

Taman itu terlihat ramai, walau beratapkan awan mendung. Anak-anak berlarian di sekitar sana, para remaja berkumpul entah membicarakan apa, dan sepasang kekasih berjalan-jalan mengitari taman sambil berpegangan tangan seakan dunia milik berdua. Sekelompok remaja lainnya menyumbang keringat dengan bermain futsal di sebagian wilayah taman, sebagian lainnya bermain basket. Tampak tidak peduli bila tetesan air akan jatuh membasahi kota.

Sementara aku, hanya berdiri di sini. Di bawah lampu jalan seberang taman. Memperhatikan semuanya. Yah, walaupun aku tidak terlalu peduli dengan kegiatan di taman nan ramai sana. Aku hanya sedang ... menantikan sesuatu.

Seorang gadis berhasil menarik perhatianku, sejak seminggu setelah kepindahanku ke kota kecil ini. Umurnya mungkin dua tahun lebih muda dari umurku semasa hidup. Dia tidak terlalu cantik, tetapi wajahnya terlihat manis, ditambah tubuhnya yang mungil dan rambut hitam sebahu. Wajahnya tampak familiar dan selalu mengingatkanku pada seseorang yang dulu pernah hadir di kehidupanku.

Gadis itu berjalan di trotoar yang sama denganku, dengan sebuah buku tebal yang selalu dibawanya setiap datang ke sini. Dia berhenti tak jauh dariku sebelum menyebrang ke taman di depan sana. Seperti biasanya, dia akan berjalan ke sebuah bangku kosong di depan pancuran air, lalu membuka buku tebalnya. Selalu tampak tak begitu peduli dengan keramaian anak-anak yang berlarian bagai lebah pencari nektar dalam bunga.

Untuk sesaat, aku bimbang. Akan tetapi hari ini aku telah membulatkan tekad. Aku akan menyapanya, atau tidak sama sekali.

"Hai!" sapaku ketika sampai di hadapannya. Berusaha terlihat ramah dengan menyunggingkan senyum paling menawan yang pernah kumiliki.

Gadis itu tampak terkejut dan mendongkakan kepalanya untuk melihatku. Matanya terbuka lebar, indah. Aku menahan tawa melihat ekspresi terkejutnya yang tampak lucu. Karena dia tidak merespon apapun selain memelototiku, maka aku berkata, "boleh duduk di sebelah? kosong, kan?"

Untuk sesaat dia masih terdiam, padahal aku yakin bahasa yang kugunakan tidak serumit itu untuk dicerna orang seumurannya. "Oh, iya—boleh-boleh," ucapnya kemudian terdengar ragu, sambil menggeser tubuhnya ke samping.

"Terimakasih." Aku duduk di sampingnya dan gadis ini langsung tenggelam kembali pada bacaannya. Sama sekali tak mengacuhkanku yang sudah duduk di sebelahnya.

Diam-diam aku melirik buku yang dibacanya dan seketika menelan ludahku. Aku yakin, buku itu berisi ratusan lembar dengan tulisan kecil-kecil tanpa gambar sama sekali. Orang macam apa yang dapat bertahan dengan buku yang bisa membuat mata juling seperti itu?

Kemudian, lirikanku naik pada wajahnya yang tampak serius dan amat menikmati bacaannya. Sudut bibirku naik tanpa kusadari ketika melihat sorot matanya yang tampak teduh, mengikuti tiap kata dalam lembar yang dia baca. Hidungnya kecil namun mancung, pipi yang sedikit tembam dan—

"Uhuk!"

Gadis itu terbatuk sehingga cepat-cepat aku mengalihkan pandanganku. Apa yang telah kulakukan? Tanpa sadar aku malah memperhatikannya.

Akan tetapi, wajah gadis itu benar-benar mirip dengan seseorang. Amat mirip bahkan tampak seperti pinang dibelah dua. Aku menghela napas ketika dadaku tiba-tiba terasa sesak.

Aku meliriknya lagi dan dia masih menunduk. Baiklah, biarkan saja dia membaca bukunya dulu. Aku menatap ke arah pancuran air, kemudian memperhatikan anak-anak yang berlarian, hingga akhirnya sibuk dengan pikiranku sendiri karena tidak ada yang membuatku tertarik.

"Kau ... sering membaca di sini?" tanyaku setelah lima belas menit kami terdiam, berusaha memecahkan suasana canggung yang melingkupi. Akan tetapi, gadis ini sama sekali tidak merespon kata-kataku.

"Bukankah tempat ini terlalu ramai untuk baca buku?" tanyaku lagi, namun dia masih tenggelam dengan cerita yang dibacanya.

"Buku apa yang kau baca?" Aku tidak menyerah, namun dia tetap tak bergeming bagai patung hiasan taman yang bernapas. Sepertinya keberadaanku di sampingnya ini telah hilang sepenuhnya dari kelima indra yang dimilikinya.

Aku menggaruk kepala yang tidak gatal sepelan yang kubisa, walau rasa frustasi memenuhi kepalaku. Tak kusangka dia lebih dingin daripada perkiraanku. Akhirnya, aku menyerah dan hanya duduk diam di sampingnya. Menemaninya sebagai patung taman yang bernapas juga.

Kami menghabiskan lima belas menit lagi untuk menjadi patung taman, hingga akhirnya suara guntur dari langit mengubah kembali gadis ini menjadi manusia. Dia mendongkak ke atas hanya untuk mendapati awan hitam tebal yang telah bergulung-gulung menggelayuti langit, siap membanjur kota kecil ini dengan ribuan tetes air.

Dia segera berdiri, kemudian hadap kanan untuk pergi. Namun, langkahnya terhenti ketika mendapati keberadaanku yang masih duduk di sebelahnya. Matanya kembali terbuka lebar dan mulutnya ternganga. Tampak terkejut menyadari bahwa patung taman ini telah menemaninya selama tiga puluh menit.

Gadis itu tampak gelagapan dan salah tingkah. Seakan merasa bersalah dan tak tahu harus berbuat apa. Aku tersenyum geli melihat tingkahnya dan wajahnya mulai memerah menahan malu.

"Ma—maaf, aku ... tidak—"

"Tak apa. Kau harus pulang, kan?" Aku berusaha menyunggingkan senyum ramahku.

Dia, benar-benar melupakan keberadaanku.

Gadis itu mengangguk ragu. Dia melipat bibirnya ke dalam, tampak menimang sesuatu. "Ka—kalau begitu ... Aku pulang dulu—ke rumah, ya, ke rumah, jadi ...."

"Iya, silahkan," potongku masih tersenyum.

"Iya ...," gumamnya, untuk sesaat tatapannya terlihat kosong, seperti robot yang mulai eror. Aku agak meringis melihatnya yang mencoba merangkai kata, kapan terakhir kali dia berbincang dengan orang lain? "Sa—sampai ... jumpa," lanjutnya kaku, melambaikan tangannya sedikit dan melangkah patah-patah.

Aku mengangguk menahan senyum geli, lalu menatap kepergiannya hingga hilang dari pandangan. Akhirnya tawa kecil lolos dari mulutku.

"Gadis yang menarik," gumamku sambil menyenderkan tubuhku pada sandaran bangku taman dan menghela napas panjang.

Semoga, pilihanku ini tepat, lirihku dalam hati.

Entah berapa lama aku duduk di bangku ini sambil melihat awan hitam di langit. Hingga akhirnya, tetesan langit jatuh mengenai kepalaku dan dalam beberapa detik seluruh kota basah karenanya.

—————————————————————————————

Terimakasih sudah membaca! \( ՞ ᗜ ՞ )/

Kritik dan saran terbuka lebar di kolom komentar dan bantulah author tumbuh dan berkembang :3

Jika cerita ini berkesan di hati kalian, jangan lupa tinggalkan jejak, itu amat bermakna <3

Percayalah jari kalian tidak akan raib karena hal itu '-')/

Salam hangat!

Gadis Bangku Taman [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang