#3 TEMAN

92 66 62
                                    

-Raiz-

_Hari ke-13: 20 November 2015_

Perasaanku sedang baik hari ini, setelah kemarin akhirnya dia tidak mengabaikanku karena sebungkus jus mangga. Awalnya aku ingin memberikannya coklat, namun kuurungkan. Aku tidak mau ajal menjemputnya lebih cepat, tentu saja aku tidak setega itu.

Sepertinya makanan—atau minuman—memang kunci untuk meluluhkan wanita? Entahlah. Yang penting sekarang aku sudah berkenalan dengannya setelah lima hari menjadi patung taman. Perjuangan yang berat.

Aku kembali menemuinya, tetapi dia masih terkejut ketika diriku menyapanya lagi. Matanya lagi-lagi menatapku intens, walau sebenarnya aku tidak masalah diperhatikan oleh gadis manis sepertinya. Tapi jika seintens itu, aku merasa tidak nyaman juga. Apakah wajahku semenawan itu?

"Mau jus mangga lagi?" ceplosku dan dia langsung mengerjapkan matanya.

"Hah? Apa? Tidak—kenapa jus mangga?" jawab Fuji gelagapan tampak malu karena kedapatan menatapku se-intens itu. Kepalanya lalu menunduk sedalam-dalamnya, hingga aku berpikir bahwa jika dia menunduk lebih dalam lagi, maka sesuatu akan terlepas dari tempatnya.

Aku tertawa kecil melihat tingkah gelagapannya, kemudian duduk di sebelahnya tanpa diminta. Toh, dia telah menyediakan ruang untukku. "Agar kau tidak mengabaikanku lagi."

Wajahnya memerah, dia sedikit melirikku kemudian mengerut sebal. Kenapa ekspresinya malah semakin lucu? Sambil mendengus, dia mulai membaca bukunya kembali. Sengaja dengan terang-terangan mengabaikanku. Bibirku mendesis pelan melihat tingkahnya ini. Oke, dia juga bisa menyebalkan seperti ini.

Kemudian, aku tersenyum kecil melihat ekspresinya yang sedang membaca buku. Mungkin, aku biarkan saja dulu dia membaca bukunya. Sementara aku kembali sibuk dengan pikiranku sendiri.

Aku menatap langit dan mendapatinya penuh dengan awan-awan. Suasana langit di akhir tahun memang selalu seperti ini di sore hari. Jika tidak mendung, ya, hujan atau gerimis. Angin juga kadang berhembus lebih kencang dari biasanya.

"Sampai kapan kau mau mengabaikanku?" Aku membuka suara setelah dua puluh menit kami terdiam.

Fuji tidak menjawab.

"Apa kau mau coklat?" tambahku dan dia kembali menganggapku sebagai patung taman.

"Ayolah, padahal kemarin kita baru kenalan." Aku menaikan satu kakiku ke bangku untuk menghadap ke arahnya, dia mulai terganggu. Namun, alisnya hanya berkerut dan keberadaanku hilang kembali dari pandangannya.

Aku menaikan sebelah alisku, sejak kapan buku bisa mengalihkan dunia seseorang hingga seperti ini? Padahal tubuhku jauh lebih besar daripada benda kotak berlapis itu.

Pantas saja dia tidak terganggu dengan kebisingan taman yang ramai ini, padahal di depannya juga terdapat jalan yang cukup sering dilewati kendaraan. Seakan hanya raganya saja yang tinggal, sementara arwahnya pergi entah kemana. Terjebak dalam lingkaran fantasi tiada ujung. Mungkin, jikalau langit jatuh pun dia tidak akan peduli.

Akan tetapi, rasa kesalku luruh ketika melihat ekspresi wajahnya lebih intens. Tampaknya dia mulai kehilangan fokus pada bukunya. Alisnya sedikit berkerut, bibirnya agak maju, berusaha menutupi rasa sebalnya karena kuganggu.

Mengingatkanku pada ekspresi seseorang jika aku telah menjailinya, sangat mirip. Hal itu membuatku tak bisa menahan senyuman jail. Bukankah ini kesempatan bagus?

"Sepertinya bukumu sangat menarik," tuturku menyadari dia sudah tidak fokus lagi membaca.

"Buku apa yang kau baca?" tanyaku tak menyerah, walau dia berpura-pura abai.

Gadis Bangku Taman [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang