-Fuji-
Penerimaan.
Satu kata sederhana yang ternyata begitu sulit terlaksana. Raiz pernah berkata bahwa kenyataan memang sekejam itu, dia tidak pernah membiarkan hidup berjalan semulus perosotan taman bermain.
Seorang tampan yang bisa membuat semua wanita di seluruh dunia tergila-gila saja, bisa tidak pernah dapat ketenangan hidup hanya kerena satu orang wanita meninggalkannya. Atau seorang miliyader yang dapat membeli satu planet sekalipun, bisa saja tidak pernah tenang dalam hidupnya hanya karena sebuah tompel besar yang bersemayam di hidungnya. Dibalik kesempurnaan seseorang, pasti selalu memiliki kutil yang tersembunyi.
Aku selalu bertanya-tanya, mengapa metafora Raiz selalu se-absurd itu. Entah darimana kata-kata itu bisa tercipta dari kepalanya. Rasanya ingin sekali kuprotes, tapi perkataannya memang ada benarnya.
Selama delapan belas tahun hidupku, sulit sekali buatku untuk menerima kondisiku—walau akhir-akhir ini aku mulai berdamai. Rasanya berat, jika memikirkan kesedihan papa dan mama. Aku tidak ingin membuat mereka menderita.
»»——⍟——««
Aku sampai di taman. Seperti biasanya, Raiz tersenyum menyambutku. Kalau diingat-ingat, Pria itu memang sering tersenyum selama aku bertemu dengannya—walau selalu terkesan menyebalkan.
Bisakah dia bersikap manis sehari saja seperti lelaki lain di dalam cerita yang selalu kubaca? Seakan saat Tuhan sedang meracik dirinya, benih 'Menyebalkan' bocor dan tumpah berhamburan pada diri Raiz.
"Aku tidak mengerti, kenapa kau selalu menatapku seperti itu?" tanya Raiz tiba-tiba, membuyarkan lamunanku. Lalu tersadar kalau sejak tadi aku terus menatapnya, padahal pikiranku sedang mengembara. Memikirkan asal usul terbentuknya pria di depanku ini.
"Sebegitunya, kah, kamu terpana dengan wajahku?"
Cepat-cepat aku memalingkan wajahku sambil mencebikkan bibir. "Geer!" ketusku. Sepertinya Benih 'Narsistiknya' juga tumpah saat peracikan dirinya.
Raiz tertawa, sementara aku duduk di sebelahnya. "Akui saja kalau aku memang tampan."
"Tampan dari hongkong!" kilahku kesal.
Semenjak kenal Raiz, aku jadi terbiasa melontarkan ejekan-ejekan padanya. Entah ini hal bagus atau bagaimana. Toh, Raiz terlihat tidak keberatan dikatai seperti itu. Selain itu, kepuasan sementara malah timbul di benakku karenanya.
Raiz tertawa mendengar ejekanku, sementara aku mengiraukan suara tawanya—agar rasa kesal tidak tumbuh menguasai—dengan membuka buku tepat di bagian yang pernah kutandai sebelumnya.
Tidak kusangka sebentar lagi kisah di buku ini akan berakhir, aku tersenyum menyadari hal itu. Entah berapa ratus kali aku mengulang cerita ini, tapi tidak pernah bosan karenanya. Walau aku tau kisah ini pasti berakhir sedih.
Dia—si tokoh—dapat pergi dengan tenang, tanpa adanya rasa beban. Seakan seluruh waktu yang dimilikinya sudah cukup baginya dan semua orang di dekatnya. Aku bertanya-tanya, apakah aku bisa seperti dirinya? Pergi dengan tenang suatu saat nanti, tanpa meninggalkan beban bagi diriku serta papa dan mama, juga Raiz.
Mereka sangat berarti bagiku. Papa dan mama rela mengorbankan apapun untukku. Menyayangiku dan selalu ada buatku, walau mereka tahu aku tidak akan bertahan lama di dunia ini.
Sementara Raiz, walau belum genap satu bulan kami bertemu, dia adalah teman pertamaku seumur hidup. Selain ayah dan ibu, dia mengubah duniaku. Mengenalkanku pada dunia baru, menorehkan warna-warna yang belum pernah kulihat sepanjang hidupku. Akan tetapi yang kuberikan hanyalah kepergian yang menyesakkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis Bangku Taman [END]
Teen FictionSebuah perbincangan dibangku taman. Antara seorang pria yang memiliki penyesalan, dan gadis yang hidupnya tak lama lagi. [REVISI] Mohon maaf bila menemukan beberapa yang ngga nyambung :)