-Fuji-
Akhirnya, aku menyampaikan kondisiku pada Raiz. Awalnya aku benar-benar gugup. Aku pikir dia akan merespon yang tidak-tidak. Aku takut dia malah menjauhiku karena hal itu.
Seperti saat aku kecil dulu. Hanya karena aku berbeda, anak-anak kompleks tidak ada yang mau bermain denganku, atau sekedar menemaniku main di rumah. Hanya melihatku yang menatapnya dari jendela rumah saja mereka sudah lari tunggang langgang, seakan baru saja melihat hantu.
"Awas, nanti kau ketularan penyakitnya Fuji!" Adalah kata yang sering kudengar dari mereka.
Padahal kondisi yang kualami ini bukanlah penyakit menular. Mana mungkin, kan, jantung seseorang akan bolong-bolong hanya karena dia mendekatiku yang memiliki kelainan itu. Semenjijikan itu, kah, kondisiku? Kenapa mereka bisa berpikir seperti itu?
Aku juga paling benci jika seseorang akan menatapku iba saat mengetahui kondisiku. Aku selalu merasa menjadi orang paling malang dan tak berdaya jika mereka menatapku seperti itu.
Seakan dunia amat kejam padaku sehingga harus mengalami kondisi seperti ini. Padahal, aku tidak selemah dan tidak berdaya seperti yang mereka kira. Aku masih bisa mengurus diriku sendiri, kok. Aku hanya butuh seseorang yang menerimaku, bukan mereka yang hanya bisa mengasihaniku.
Hal itulah yang menjadi alasan mengapa aku lebih memilih mengurung diri di kamar selama delapan belas tahun hidupku. Menutup diri dan membatasi keseharianku hanya dengan keluarga dan buku-buku kesayanganku.
Karena, hanya mereka yang dapat berusaha menerimaku dan tidak akan menyakitiku, malah aku yang sering menyakiti mereka karena kelainan yang kumiliki. Aku merasa bersalah.
Jika tidak karena terpaksa, akupun tidak mau berhubungan dengan dokter dan perawat sekalian. Sejujurnya aku benci rumah sakit, karena bangunan itu akan selalu mengingatkanku bahwa aku tidak terlahir normal dan umurku tak akan lama lagi.
Kadang aku berpikir, untuk apa aku dilahirkan jika malah merepotkan semua orang? Bahkan aku pernah berpikir untuk meninggalkan dunia ini lebih cepat. Namun, aku menarik pikiranku itu, papa dan mama mungkin akan lebih hancur jika aku melakukan hal itu.
Akan tetapi, Raiz berbeda. Dia pendengar yang baik. Sepertinya aku berpikir terlalu jauh karena ketakutan akan kehilangan teman pertama. Tidak seperti orang-orang kebanyakan, dia tidak menyorotkan tatapan iba ketika mendengarkan kondisiku. Dia juga tidak menanyakan lebih lanjut mengenai kelainanku dan memilih menyemangatiku dibanding mengasihaniku.
Melihat responnya membuatku lega. Aku senang dia menerima kondisiku dan tidak menganggapku sebagai makhluk menjijikan atau paling malang. Aku bersyukur bisa bertemu dengannya. Sepertinya hari-hariku jadi lebih menyenangkan saat dia datang.
Aku jadi teringat ketika dia tersenyum hangat sambil mengacak rambutku pelan. Aku tidak tahu dia bisa tersenyum sehangat itu, kukira dia hanya bisa mengulas senyum menyebalkan bin menjengkelkannya saja.
Aku juga tidak terlalu masalah dengan tangannya yang meraih puncak kepalaku. Rasanya sama seperti Ayah yang selalu melakukan hal itu. Mungkin dia melakukannya karena merasa seakan aku adalah adiknya.
Entah kenapa aku tersenyum kecil mengingat hal itu. Apakah begini rasanya memiliki seorang kakak? Aku jadi tidak sabar untuk bertemu dengan dirinya lagi.
»»——⍟——««
Seperti biasa, sore hari ini aku pergi lagi ke taman dekat rumah, sambil menenteng dua bungkus jus mangga yang entah sejak kapan mama persiapkan untukku.
"Nih, satunya untuk temanmu. Minum bareng dengannya, hati-hati tertukar!" Pesan mama padaku. Sepertinya mama menyukai Raiz entah karena apa, sampai dipersiapkan jus segala. Padahal mereka belum pernah bertemu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis Bangku Taman [END]
Teen FictionSebuah perbincangan dibangku taman. Antara seorang pria yang memiliki penyesalan, dan gadis yang hidupnya tak lama lagi. [REVISI] Mohon maaf bila menemukan beberapa yang ngga nyambung :)