#11 WAKTU

30 23 1
                                    

-Raiz-

Beberapa hari ini aku sering kehilangan fokus. Dengan seenaknya pikiranku terbang melayang entah kemana, meninggalkan raga yang hanya diam mematung, atau melakukan hal konstan.

Terkadang aku bahkan merasa tubuhku ini kehilangan pijakan karena pikiranku tenggelam terlalu dalam, atau melayang terlalu jauh. Karenanya aku pernah hampir menabrak tiang lampu jalan, atau terus berjalan lurus walau lampu lalu lintas telah berubah hijau--'untung' saja seseorang menarik kerah bajuku hingga leherku tercekik dan tubuhku terjengkang ke belakang.

Dasar, sejak kapan pikiran seseorang bisa kabur-kaburan begini? Apakah aku harus membuat sangkar agar dia tidak seenaknya meninggalkan tubuhku? Seharusnya aku tidak boleh begini, karena sebentar lagi pekerjaanku hampir usai.

Entah kenapa perkataan Fuji beberapa hari yang lalu terus terngiang di kepalaku dan berputar-putar di telingaku. Hingga aku harus membutuhkan waktu lama untuk menyadari bahwa pernyataanku satu kalimat di atas tadi terbalik. Entahlah, aku tidak tahu sekarang sedang mengoceh tentang apa.

"Berjanjilah, kau akan merelakan kematianku jika waktunya tiba."

Perkataan gadis itu kembali terngiang di telingaku. Kenapa dia begitu resah akan hal itu? Padahal di sini yang akan pergi adalah dirinya, tapi malah mengkhawatirkan orang lain yang punya waktu lebih untuk tinggal.

"Aku tidak ingin menghancurkan hidup papa dan mama karena kepergianku nanti."

Entah kenapa dadaku semakin sesak terjejali kata demi kata yang pernah Fuji utarakan. Seakan menggaungkan hal penting yang selalu ku lewati selama ini. Lalu menggema di dalam tempurung kepalaku, kemudian menggetarkan batin yang telah lama kututup dengan susah payah.

Hal itu membuat seluruh kenanganku dengan adikku kembali terputar dengan amat jelas di benakku, padahal susah payah aku telah mengubur semuanya. Melupakannya dan tidak memikirkannya lagi. Aku tidak pernah bisa memaafkan segala kebodohan yang telah kulakukan padanya selama ini. Bahkan, segalanya tidak pantas untuk dimaafkan.

Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi padaku akhir-akhir ini. Mungkin karena kemiripan wajahnya, aku hampir mengira bahwa seluruh perkataan yang sering berputar itu berasal dari mulut adikku.

Seharusnya mana mungkin itu terjadi. Dia sudah meninggal dan Fuji tidak pernah bertemu dengannya. Seandainya memang benar Fuji mengetahui perasaan adikku, rasanya tidak mungkin perkataan itu yang akan keluar dari mulutnya. Umpatan dan kutukan terkeji di dunia mungkin lebih pantas bila hal itu ditujukan padaku.

"Bagaimana caranya agar kepergianku nanti tidak meninggalkan beban bagi orang lain?"

Terngiang kembali. Entah seberapa kuat aku menggelengkan kepala, bahkan sampai hampir terkesan seperti orang ayan sekalipun, yang ada leherku malah sakit. Sementara kata-kata itu masih betah merecokiku tak kenal waktu.

Entah apa yang salah dengan kepalaku ini. Setelah apa yang terjadi saat itu, mana mungkin aku bisa merelakannya.

Bisa-bisanya aku seperti ini di waktu yang sangat-tidak-tepat.

Seharusnya aku fokus pada tujuanku datang ke kota ini. Aku harus menyelesaikan urusanku ini tepat waktu. Dadaku kembali sesak, tak terasa sudah waktunya kami akan berpisah.

»»--⍟--««

_Hari ke-30 : 7 Desember 2015_

Tepat jam 14.50, aku sudah duduk manis di bangku taman, menunggu Fuji datang berkunjung. Akhirnya sudah genap satu bulan sejak pertama kali aku menjejakkan kaki di kota kecil ini. Aku dan Fuji pun semakin dekat.

Gadis Bangku Taman [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang