#7 FUJI

54 41 9
                                    

-Raiz-

Tak terasa, sudah tiga minggu aku berada di kota kecil ini. Selama dua minggu pula, aku menghabiskan waktu soreku duduk di bangku taman. Bersama Fuji.

Aku bersyukur, walau buku kesayangan gadis itu masih prioritasnya, kehadiranku di sisinya sudah bukan sekedar patung taman belaka.

Entahlah, aku tak tahu mengapa kata 'Patung taman' masih membekas begitu dalam di benakku. Mungkin kata itu merupakan tanda ketidakberdayaanku melawan sebuah buku. Betapa mengenasnya diriku, hingga kotak berlapis itu sudah kuanggap sebagai rival.

Singkat cerita. Setelah perkenalan kami karena peristiwa jus mangga, kami mulai sering bertemu dan mengobrol di taman. Fuji tampak lebih ceria dari seminggu sebelum aku mulai menyapanya, dan juga selalu terlihat manis seperti biasanya.

Kami selalu mengobrol berbagai macam hal di taman itu. Fujilah yang paling banyak bercerita. Mulai dari dirinya, keluarga yang sangat disayanginya, kecintaannya terhadap buku, impian-impian yang sangat ingin diraihnya, kesepiannya karena dulu dia tidak memiliki teman dan banyak lagi.

Sedangkan aku paling banyak mendengar cerita-cerita gadis itu. Dan tentu saja, menggodanya—Hei, jangan salahkan aku. Aku yakin, siapapun kalian yang sedang membaca cerita ini. Kalau melihat wajahnya yang menggemaskan itu, setipis apapun keberadaan sifat usilmu. Wajahnya akan menendang sifat usilmu hingga terlontar sampai batas maksimal dalam sekali pandang.

Paling tidak kau akan mencubit pipinya hingga merah saking gemasnya. Jangan tanya apa aku pernah mencobanya atau tidak—aku yakin kalian sudah tahu jawabannya.

Selama waktu yang kuhabiskan dengannya, aku selalu melihat dia tertawa karena hal lucu yang kami bicarakan, wajahnya terlihat manis karena hal itu.

Kadang dia terlihat sedih atau menangis ketika tak sengaja membahas sesuatu yang sensitif, kemanisannya tidak berkurang karena hal itu.

Atau muka sebalnya ketika mendengarkanku berbicara yang macam-macam, aku suka wajah menggemaskannya itu.

Juga ekspresi jahilnya ketika mencoba menggodaku hingga tertawa puas, wajahnya sangat manis saat itu.

Ah, dia sangat manis, mungkin aku diabetes karena wajahnya. Aku selalu teringat dengan adikku setiap bersama dengannya. Bahkan, seringkali aku tak sengaja menganggap dia sebagai adikku. Tingkahnya yang manja, ceroboh dan cerewet. Membuatku merasa bahwa mereka berdua seakan satu orang yang sama.

Kadang dia selalu bertanya mengenai adikku, sepertinya dia merasa bahwa aku menganggapnya sebagai adiknya. Sebenarnya kadang itu memang terjadi.

Akhir-akhir ini aku jadi sering teringat tentang adikku kembali. Kenangan-kenangan bersamanya selalu terekam kembali dalam kepalaku. Sehingga rasa sesak kadang-kadang timbul begitu saja, bersama penyesalan yang entah sejak kapan kupendam sangat dalam.

Fuji pernah berkata, bahwa adikku mungkin akan senang dan bersyukur memiliki kakak sepertiku. Seandainya hal itu memang benar. Akan tetapi, aku merasa tak pantas untuk mendapatkannya.

Sepanjang hidupku, aku bahkan tidak yakin apakah dia akan memaafkanku setelah apa yang kuperbuat saat itu. Mungkin karena hal itu, aku masih belum merelakan kepergiannya. Tidak, mungkin lebih cenderung untuk menolak dan tidak memikirkannya lagi.

Mungkin pula karena perbuatanku padanya dulu, aku masih ada di sini. Terjebak dalam pusaran waktu tiada henti, hanya untuk menyaksikan kematian demi kematian. Barangkali dunia telah menghukumku. Setelah sekian lama, seakan hukuman ini belum cukup. Dunia memberiku kesempatan, untuk melihatnya mati sekali lagi.

Ah, sudahlah. Kisah adikku sudah lama sekali termakan jaman. Aku tidak mau memikirkannya lagi. Sepertinya ini memang hukuman yang pantas.

Sekarang, lebih baik aku fokus pada tujuan utamaku bersama Fuji. Yang pasti bukanlah untuk mengenang adikku. Aku hanya ingin menemaninya, setidaknya sedikit memperbaiki kesalahan kecilku.

Gadis Bangku Taman [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang