#4 KELUARGA

80 56 46
                                    

-Fuji-

Tak kusangka, dia sangat menyebalkan, padahal kami belum lama berkenalan. Apakah lelaki memang semenyebalkan itu? Karena, Papa juga kadang menyebalkan.

Dia senang sekali menertawakanku, padahal aku berusaha untuk menjadi teman yang baik. Aku tidak tahu harus bagaimana ketika menghadapi seorang teman, ini pertama kalinya bagiku. Seharusnya dia membantuku, bukan malah menyunggingkan senyum menyebalkan itu.

Akan tetapi, entah kenapa aku malah merasa senang. Aku sedikit terkejut karena dapat menerima kehadirannya secepat ini. Apakah pertemanan selalu seperti itu?

Tidak membenci walau sudah dibuat kesal setengah mati, atau puas setelah membuat seseorang jengkel tak terkira. Ternyata pertemanan tidak serumit yang kubayangkan. Cukup sesederhana obrolan di bangku taman.

Mengingatnya saja sudah membuat sudut bibirku terangkat tanpa diminta. Bahkan beberapa kali aku tak dapat menahan tawaku. Untung saja aku sedang sendirian di kamar. Entah apa anggapan ibu jika melihatku cekikikan sendiri sambil membaca buku, padahal pikiranku sedang tidak berada di sana.

Akan tetapi, sebenarnya aku masih ragu untuk menjalin hubungan pertemanan ini. Bagaimana jika aku malah menyakitinya nanti? Mengingat kondisi tubuhku selama ini. Aku takut mengecewakannya.

Apalagi mendengar cerita tentang adiknya, aku jadi semakin khawatir. Karena tidak akan lama lagi, dia mungkin akan merasakan kehilangan kembali.

Apakah aku harus memberitahukannya tentang kondisiku? Tapi bagaimana jika dia malah menjauh nantinya? Andai saja tubuhku ini normal, mungkin aku tidak akan mengecewakan banyak orang.

Uh, aku benci jika sudah memikirkan hal ini. Masih banyak yang ingin kulakukan, masih banyak yang ingin kugapai. Akan tetapi tubuh ini tidak pernah mengijinkan. Aku juga ingin ... terlahir normal. Rasanya tidak adil.

Oh tidak! Jangan mulai lagi Fuji, kau harus optimis! Seperti tokoh favorite-ku di buku yang pernah papa hadiahkan padaku tahun lalu. Semuanya akan baik-baik saja, seperti yang sering ibu sampaikan di setiap kecupannya sebelum aku terlelap.

Kuharap, hidup memang seindah itu. Aku ingin kedua orang tuaku bahagia, oleh karena itu aku terus berusaha untuk terlihat baik-baik saja. Tuhan selalu mengetahui apa yang terbaik untuk kita, kan?

Kudengar pintu kamarku diketuk berirama. Ketukan yang biasa mama lakukan jika ingin masuk ke kamarku. Aku menutup buku yang tengah kubaca, kemudian menoleh ke sumber suara. Sosoknya terlihat di balik pintu yang setengah terbuka.

Dia tersenyum, aku selalu menyukai cara mama tersenyum. Seolah seluruh kedamaian di muka bumi ini ada di dalamnya dan tak akan pernah lekang oleh waktu. Kemudian, aku membalas senyumannya.

"Boleh masuk?" mama memiringkan kepalanya hingga ubun-ubunnya tersandar ke daun pintu.

"Sejak kapan aku bilang 'tidak', ma?" Aku menyengir hingga sedikit memperlihatkan deretan gigiku.

Mama tertawa kecil, kemudian masuk ke kamarku. Tubuhnya masih terbalut celemek yang berhiaskan bekas cipratan minyak panas dan taburan tepung, rambutnya diikat kebelakang seadanya, kening dan pipi kanannya tercoreng tepung putih-putih. Namun, kecantikannya tidak berkurang sedikitpun. Walau beriaskan bumbu masakan sekalipun. Apakah aura seorang ibu memang semenakjubkan itu?

Dia mengambil bangku kecil di meja belajarku dan membawanya ke ambang jendela kamar tempat aku duduk. Kemudian menghela napas lelah setelah pantatnya mendarat pada jalinan rotan kursiku.

"Mama masak apa?"

"Udang asam manis kesukaanmu." Mama memperhatikanku, kemudian wajahnya berkerut kesal. "Mama kira kamu masih tidur. Kau ini, bukannya turun bantu Mama, malah asyik baca buku."

Gadis Bangku Taman [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang