-Raiz-
_Hari ke-2: 9 November 2015_
"Luar biasa, bukankah dia begitu mirip dengannya?"
Bagai tersengat listrik. Aku seketika terkejut mendengar kata-kata seseorang di sebelahku. Seakan dia bisa membaca pikiranku dan mencoba mengajakku bicara. Terlebih, mana mungkin ada orang normal yang bisa melihatku saat ini, karena aku sedang dalam—yah, mungkin bisa dikatakan—mode tak terlihat.
Ketika aku menoleh, cengiran jail berhasil tertangkap oleh mataku. Dia tampak puas melihat ekspresiku saat ini. Sementara aku mendengus ketika mengetahui sang pelaku. Segera aku menoyor kepalanya. Pantas saja dia bisa melihatku.
"Apa yang kau lakukan di sini, Erik?"
"Cih, apa-apaan dengan nada bucaramu itu? Aku tidak sedang bermain-main, oke. Kau pikir hanya kau saja yang ditugaskan di kota ini?" ujarnya tak terima dengan toyoranku sambil mengusap kepalanya.
Aku memutar bola mata. Jangan salahkan aku jika menganggapnya seperti itu, karena dia memang terkenal sebagai tukang keluyuran tidak jelas dan sering ikut campur dalam pekerjaan para Penjemput.
"Oh," responku singkat, tidak begitu peduli dengan pekerjaannya di kota ini.
"Kau ini sungguh tidak sopan pada seniormu, ya," gumamnya masih tidak terima, berusaha menoyorku balik namun dengan cepat aku berkelit.
Aku mengangkat bahu, mengabaikan gumaman 'senior' kekanak-kanakan itu. Mataku kembali menatap lurus ke depan sana. Memperhatikan gadis yang sedang asyik membaca buku.
Sudah setengah jam berlalu sejak dia duduk di sana, akan tetapi gadis itu hampir tidak berkutik sama sekali. Seperti patung jika rambutnya tidak melambai-lambai saat diterpa angin. Semenarik itukah sebuah buku hingga membuat pandangan gadis itu tidak teralihkan sama sekali?
Namun, satu hal yang selama ini menarik perhatianku adalah wajah manisnya itu. Wajah dan perawakannya telah berhasil mengorek kembali luka yang entah sudah berapa lama kupendam.
Kukira luka itu sudah lama kering dan memborok di suatu tempat dalam diriku, namun ternyata masih terasa segar sekali. Rasa sakitnya masih sama dan amat menyakitkan seperti dulu.
Dari sekian banyak penjemput yang ada di muka bumi ini, akulah yang terpilih untuk menjemputnya. Entah keberuntungan atau kesialan macam apa yang datang padaku. Andai saja pekerjaan ini bisa ditawar atau ditolak atau memilih.
Sejujurnya aku tidak sanggup untuk mengawasi gadis ini. Melihat perawakannya saja sudah terasa menyakitkan untukku. Walau di saat yang sama aku ingin berlari dan memeluknya erat.
"Sepertinya dia selalu kesepian selama ini. Tidakkah kau berpikir untuk mendekati gadis itu dan mengajaknya bicara? Toh, itu tidak menyalahi aturan," tanya Erik tepat saat aku menghela napas. Sejak tadi ternyata dia masih betah berdiri di sisiku.
Entah apa yang sedang dipikirkannya sekarang. Bukankah dia memiliki pekerjaan lain di kota ini? Seharusnya dia melaksanakan tugasnya dengan baik. Ini malah membuang-buang waktu dengan berdiri di sebelahku. Dasar senior tak bertanggungjawab.
Dengan malas aku menoleh kembali padanya. Kemudian mataku melebar ketika melihat tangan Erik telah memegang sebuah map hitam. Map milikku.
"Hei, siapa yang mengijinkanmu mengambil mapku?" Aku segera merebut map itu. Namun dengan mudahnya dia menahan wajahku dan menjauhkan mapnya dari jangkauanku.
Akhirnya aku menyerah untuk merebut map milikku itu. Tidak ingin masuk dalam permainan kekanakan Erik dan melakukan hal konyol di tengah jalan—walau sebenarnya tak ada yang akan melihat. Sementara Erik tersenyum puas dan tertawa kecil melihat kepasrahanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis Bangku Taman [END]
Подростковая литератураSebuah perbincangan dibangku taman. Antara seorang pria yang memiliki penyesalan, dan gadis yang hidupnya tak lama lagi. [REVISI] Mohon maaf bila menemukan beberapa yang ngga nyambung :)