#14 RAIZ

29 11 1
                                    

-Fuji-

Kesadaranku kembali pada, uhm, mungkin bisa kubilang, arwahku? Entahlah. Aku dapat melihat raga fanaku yang asli berlumuran cairan kemerahan di depanku, dan darahku bercipratan di sekitar sana, bahkan menodai bumper mobil jeep yang telah menabrakku. Entah bagaimana respon papa dan mama setelah mengetahui hal ini.

Orang-orang mulai mengerubuni tubuhku, persis seperti saat aku melihat peristiwa yang hampir mirip di ingatan lain. Akan tetapi, tidak ada Raiz yang memeluk tubuhku di sana. Lalu pengelihatanku pada suasana di sekitar mulai samar. Seperti ada kabut tipis yang mengerubungi sekitarku.

Aku masih terdiam, terlalu syok atas segala peristiwa yang telah terjadi sebelumnya. Aku sendiri bahkan bingung. Apakah aku syok karena tubuhku tiba-tiba tertabrak sehingga arwahku terlontar keluar, atau karena ingatan asing yang datang entah dari mana. Semuanya berjalan begitu cepat dan diluar nalar.

Aku menoleh ke samping, tampak Raiz berdiri di sebelahku. Kini dia memakai pakaian yang sangat formal. Seperti jas hitam, kemeja putih, mantel panjang,  celana hitam, dasi dan sebagainya. Tangannya menggenggam tanganku yang sempat ditariknya begitu erat, tatapannya masih mengarah ke arah depan dan menyorotkan kepedihan yang mendalam. Aku baru tahu bahwa tinggi tubuhku hanya sampai di dadanya, karena kami tidak pernah berdiri berdampingan sebelumnya.

"Sudah kubilang, kelainan dalam tubuhmu itu bisa saja bukan penyebab kematianmu," tuturnya kemudian, matanya beralih menoleh ke arahku, lalu dia menyunggingkan senyum pahit.

"Kau—"

"Maafkan aku, kau pasti akan membenciku sekarang," potong Raiz penuh penyesalan, walau masih memaksakan senyumnya.

Aku terdiam menatapnya, tidak tahu harus merespon kata-katanya dengan apa. Tentu saja perkataannya itu salah, akan tetapi berbagai pertanyaan memenuhi kepalaku. Banyak sekali informasi yang tiba-tiba masuk. Hingga aku bingung harus merespon yang mana dulu.

Aku sadar bahwa diriku ini telah mati, dengan cara yang begitu mengejutkan. Karena hal itu pula aku menyadari bahwa teman pertamaku adalah malaikat maut. Aku juga khawatir memikirkan bagaimana respon orang tuaku nanti. Akan tetapi, pikiranku terdistraksi oleh sesuatu yang lain. Sesuatu yang menurutku sama mengejutkannya.

"Ayo, aku harus mengantarmu," ucap Raiz kemudian.

"Dahulu, kamu memang pernah menjadi kakakku." Akhirnya aku membuka suara, menahan tanganku yang akan ditariknya. Kepalaku mendongkak ke atas demi menatap wajah Raiz.

Matanya melebar tanda terkejut, namun segera Raiz mengontrol kembali ekspresinya. "Kalau begitu kau pasti sudah membenciku," katanya dengan senyum miris, "setidaknya di kehidupanmu sekarang umurmu lebih lama dua tahun." Kemudian dia terkekeh sok kuat.

Aku segera menggeleng pelan, lalu menjulurkan tanganku untuk meraih pipinya. Entah kenapa sebuah kerinduan yang amat dalam muncul di benakku. Aku tidak tahu mengapa itu bisa terjadi, namun diriku merasa bahwa adiknya Raiz adalah aku, dan aku adalah dia. Kami sebenarnya satu orang yang sama.

Sementara itu, wajah Raiz tampak lebih tegas dari terakhir aku melihatnya—saat pria itu memeluk tubuhku yang terkapar tak berdaya. Dia tumbuh dewasa. Aku baru menyadari bahwa selama ini—walau dia berusaha menutupinya—matanya selalu menyorotkan penyesalan yang mendalam. Seperti apa hidupnya setelah kepergianku?

Hatiku terasa perih, mengetahui bahwa hidupnya mungkin terpuruk setelah aku pergi. Padahal bukan ini yang aku inginkan saat menyelamatkannya dari tabrakan maut itu. Kenapa dia harus menyalahkan dirinya sendiri hingga seperti ini?

"Aku tidak pernah membencimu, tidak sama sekali."

Raiz lalu menggenggam tanganku yang menyentuh pipinya. "Aku ... yang telah membunuhmu saat itu, karena kekonyolanku. Jika saja aku tidak merebut bukumu, dan mengerjaimu, semua itu tidak akan terjadi. Kau mungkin masih bisa merasakan hari tua. Tapi karena aku ..."

Gadis Bangku Taman [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang