-Raiz-
_Hari ke-21: 28 November 2015_
Sekarang adalah hari ke-empat belas semenjak sapaan pertama dengan Fuji, dan hari ke-sepuluh selepas kutukan patung tamanku terangkat. Dia datang lagi, setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit. Entah senang atau apa, tapi aku bersyukur dapat melihat wajah mungilnya kembali. Ia tetap terlihat manis. Walau kini wajahnya tampak agak pucat dari terakhir kali aku bertemu beberapa hari lalu.
"Hai ...," sapaku pada Fuji sambil tersenyum, setelah jaraknya sudah tidak terlalu jauh dariku. Seperti biasa, aku sudah memposisikan diri untuk duduk terlebih dahulu di bangku taman. Menunggunya.
Dia hanya tersenyum seadanya padaku—memaksakan senyum lebih tepatnya—dan tidak menjawab sapaanku. Wajahnya tampak lesu dan tatapannya terlihat sendu. Kemudian, seperti biasanya, Fuji duduk di sebelahku dan membaca buku kesayangan yang dia bawa.
Aku tidak berbicara apapun lagi. Membiarkan Fuji menikmati buku miliknya, sepertinya dia sedang tidak ingin diganggu. Entah kenapa aku jadi tidak tega untuk menggodanya, padahal aku sudah tidak sabar untuk melakukannya. Akhirnya aku hanya terdiam menatap pancuran air di depan dengan tatapan kosong, karena pikiranku mulai melayang jauh entah kemana.
Fuji terlihat tidak terlalu ceria hari ini.
"Apa terjadi sesuatu?" tanyaku setelah dua puluh menit kami hanya ditemani gemercik air dari pancuran di depan bangku ini.
Mendengar pertanyaanku, dia langsung berhenti membaca buku lalu menghela napas panjang. Seakan telah menungguku untuk bertanya demikian. "Aku, lagi-lagi membuat kedua orang tuaku sedih." Gadis itu mencoba tersenyum walau kegetiran tampak jelas pada raut wajahnya.
"Walau mereka tak memberitahukan apapun padaku. Setelah bertahun-tahun aku menjalani perawatan di rumah sakit. Entah sekeras apapun mereka mencoba menyembunyikan kenyataannya padaku. Aku selalu tahu lewat ekspresi mereka, kalau sesuatu yang buruk akan terjadi padaku." Dia menghela napas berat, jarinya memain-mainkan ujung hardcover buku dipangkuannya.
"Aku tahu waktuku tidak akan lama lagi, dan aku mulai menerima hal itu. Tapi melihat kesedihan kedua orang tuaku, aku jadi ikut sedih juga. Apalagi aku adalah anak tunggal, pasti semua ini sangat sulit bagi mereka." Dia berhenti sejenak, mengatur napasnya selama beberapa saat, lalu membuka mulutnya kembali. "Aku ... merasa bersalah pada mereka."
"Kau tak perlu merasa bersalah, anggaplah ini ujian untukmu dan keluargamu. Kita tidak akan bisa menyalahi takdir, bukan?" Ucapku mencoba menghiburnya.
Dia tersenyum—tampak sedikit hampa—lalu menggangguk pelan. "Dokter bilang," ucapnya mengingat-ingat. "Aku bisa saja sembuh jika ada seseorang yang mau mendonorkan jantungnya untukku—Namun, aku tidak bisa berharap banyak. Karena jika aku berharap ada seseorang yang mau mendonorkan jantungnya, bukankah aku telah mengharapkan kematian seseorang?"
Dia masih memaksakan senyumnya. "Jadi ... aku hanya perlu menerima keadaanku dan memanfaatkan waktuku sebaik mungkin. Takdir memang tidak akan pernah bisa disalahkan—lagi pula Tuhan selalu tahu apa yang terbaik untuk kita ...." tuturnya, kegetiran mulai tergambar di wajahnya, suaranya terdengar agak bergetar. Dia meremas jari-jarinya hingga memutih.
Aku hanya tersenyum miris mendengar pernyataannya.
Ya, takdir memang takkan bisa disalahkan, benakku.
Entah kenapa kata-kata itu tiba-tiba berputar di kepalaku juga, memenuhinya, saling berjejalan, hingga membuat dadaku terasa amat sesak. Aku menghela napas berat, berusaha menenangkan diri. Entah apa yang terjadi padaku tadi.
Sementara itu, Fuji tiba-tiba membisu di sampingku. Cukup lama gadis itu menundukan kepalanya. Hingga membuatku kebingungan melihat tingkahnya yang tiba-tiba berubah itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis Bangku Taman [END]
Teen FictionSebuah perbincangan dibangku taman. Antara seorang pria yang memiliki penyesalan, dan gadis yang hidupnya tak lama lagi. [REVISI] Mohon maaf bila menemukan beberapa yang ngga nyambung :)