#8 JANJI

49 39 18
                                    

-Fuji-

Aku mati.

Tidak, maaf, hanya bercanda. Mungkin gara-gara bergaul dengan Raiz akhir-akhir ini aku jadi ikut melontarkan kata-kata yang aneh. Walau sebenarnya dulu aku sangat mengharapkan hal itu. Sekarang sudah tidak lagi.

Seperti kata Raiz, bukan berapa lama kita akan hidup tapi apa yang kita dapatkan selama hidup. Akhir-akhir ini, walaupun sulit, aku mulai belajar berdamai dengan kondisi tubuhku.

Sekarang, aku ingin memanfaatkan waktuku sebaik mungkin. Membuat kenangan yang indah bersama orang-orang terdekatku, hingga saat waktuku selesai, tidak akan ada penyesalan yang timbul karenanya. Aku juga berharap, papa, mama dan semuanya akan merelakanku jika waktunya telah tiba.

Jadi, cerita yang sebenarnya adalah aku pingsan. Setelah makan malam bersama dengan papa dan mama. Entah kenapa dadaku terasa amat sakit, hingga akhirnya aku tidak ingat apa-apa lagi. Mungkin, papa dan mama segera melarikanku ke rumah sakit. Lagi-lagi aku merepotkan mereka.

Akan tetapi, saat ini aku tidak tahu sedang berada di mana. Yang kulihat sepanjang mata memandang adalah cahaya putih menyilaukan. Hingga beberapa saat kemudian aku tersadar bahwa mataku tidak merasa silau karena cahaya ini. Apakah aku sedang bermimpi? Atau, apakah aku sudah mati? Entahlah.

Aku hanya mencoba berjalan dan berjalan tanpa arah dan tujuan. Tempat ini begitu sepi dan sunyi. Hanya ada aku sendirian di sini. Kemudian, entah kenapa aku ingin berlari dan berlari lebih cepat lagi. Belum pernah aku lari secepat ini. Kalau kini bukan mimpi, mungkin aku akan mendekam di IGD nanti.

Sesosok lelaki tiba-tiba muncul di depanku. Aku tidak tahu dia siapa, sosoknya tampak samar-samar di mataku, yang di tangkap mataku hanyalah tubuh jangkungnya saja.

Dia berlari menjauhiku, sementara aku berusaha mengejarnya. Aku tidak tahu kenapa aku ingin sekali menangkapnya. Suatu visi samar tiba-tiba mengisi ruang kosong ini, memperlihatkan suasana yang tampak tidak terlalu asing bagiku. Sementara lelaki itu masih berlari di depanku. Hingga dia menyeberangi jalan dan ... Oh tidak!

Aku berlari ke arah lelaki itu secepat yang aku bisa, kemudian mendorong tubuhnya sekuat tenaga. Lalu, sesuatu menghantam tubuhku sebelum aku menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Tubuhku terlontar amat keras entah berapa meter dan aku terbangun.

Aku mimpi apa tadi?

»»——⍟——««

Entah sudah berapa hari aku menghabiskan waktu di atas ranjang ini. Ditemani bunyi alat-alat yang aku tak tahu apa namanya dan wangi antiseptik.

Aku tidak suka berlama-lama di tempat serba putih ini. Rasanya bosan sekali, aku ingin cepat-cepat pulang, pergi ke taman dan menemui Raiz. Di sini aku tidak boleh banyak gerak, hanya bisa membaca buku saja, walau kadang mama atau seorang perawat mengajakku pergi ke taman rumah sakit.

Aku penasaran, sekarang Raiz ada di mana, ya? Apakah dia kebingungan di taman karena aku tiba-tiba tidak datang beberapa hari ini? Aku tidak mengabarinya apapun akhir-akhir ini, karena aku tidak tahu kalau jantungku tiba-tiba sakit hingga aku pingsan.

Kalau aku tahu, mungkin aku sudah memberitahunya sebelum pulang dari taman saat itu. Entah kenapa, aku merasa nyaman berada di dekatnya, padahal belum sebulan aku mengenalnya. Tahu-tahu aku mampu memukulnya tanpa segan.

Aku seakan memiliki kakak laki-laki. Tidak kusangka, walau menyebalkan aku masih bisa merindukannya—tolong jangan katakan ini pada Raiz, atau dia akan angkuh luar biasa. Aku tidak tahu kalau seseorang bisa senarsis itu. Menyebalkan.

Dia tidak pernah tidak menyebalkan, sepertinya senang sekali jika membuatku jengkel. Oleh karena itu, aku berusaha untuk tidak terpengaruhi godaannya. Jadinya tanpa sadar aku melakukan hal-hal kasar padanya, saking kesalnya karena kata-kata balasanku tidak pernah mempan dan malah membuatnya semakin senang.

Gadis Bangku Taman [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang