#5 SEMBILU

70 50 17
                                    

-Raiz-

_Hari ke-14: 21 November 2015_

Tidak seperti biasanya, kali ini aku datang lebih awal dan duduk di bangku taman ini lebih dulu. Entahlah, rasanya lelah juga jika harus menyapanya terlebih dahulu. Karena dia akan menatapku dengan tatapan anehnya sebelum mempersilahkanku.

Entah apa yang ada dipikirannya saat itu, apakah dia tidak menyadari kalau tatapan tajamnya itu bisa saja membunuhku dengan perlahan? Jantungku tidak kuat, bagaimana dia bisa mempertahankan keimutannya dengan tatapan seperti itu?

Uhm, aku bercanda. Dia hanya terpana melihatku, ya, pasti begitu.

Akan tetapi, dari tatapannya juga aku melihat sedikit rasa kesepian. Seolah menahan banyak hal yang ingin diraihnya. Membohongi diri sendiri dengan berpura-pura semua akan baik-baik saja. Hidupnya pasti berat sekali selama ini. Setiap hari hanya dibayang-bayangi kematian.

Sebuah keajaiban dia masih bisa hidup hingga saat ini. Dia memang gadis yang kuat dan akan selalu seperti itu. Entah kenapa, sosok adikku terlintas di kepalaku. Aku menghela napas panjang, lalu menggeleng kepalaku pelan. Aku selalu berharap pilihanku ini tepat.

Aku melambaikan tangan ketika melihat Fuji sedang menyebrangi jalan. Gadis itu mengulas senyum melihat kehadiranku yang sudah duduk manis di bangku taman.

Kini dia mengucir rambutnya seperti buntut kuda, rambutnya bergoyang-goyang menyesuaikan langkah kakinya dan bentuk wajahnya jadi semakin kelihatan. Kecil dan tidak terlalu bulat, seperti boneka. Dengan badannya yang mungil, dia jadi terlihat lebih muda dari biasanya. Semakin menggemaskan.

Setelah Fuji sampai di hadapanku dengan mata berbinar senang, dia berkata. "Kau menungguku?"

"Tidak."

Lalu, ekspresinya berubah seratus delapan puluh derajat. Aku harus menarik sebelah pipiku agar tawaku tidak pecah saat itu juga.

"Tapi, kalau itu yang kamu mau. Aku bisa bilang iya."

Gadis itu mendengus, mengabaikan perkataanku lalu pantatnya merosot ke ruang kosong bangku taman di sebelahku. Dia langsung membuka bukunya dan kembali terhanyut dalam kisah yang entah sudah berapa puluh kali dibaca ulang.

Seperti biasa, aku membiarkannya. Mataku menatap lurus pancuran air di depanku sementara pikiranku melayang-layang entah kemana. Sepertinya ada yang aku lupakan.

"Aku belum beli jus mangga," kataku setelah lima belas menit kami terdiam.

"Nggak usah, aku ngga boleh minum sembarangan," ketus Fuji masih memelototi buku di genggamannya, kemudian terperanjat seakan menyadari sesuatu.

Wah, tumben langsung jawab. Apakah akan ada angin topan setelah ini?

Aku hanya membalas. "Oh, oke." Dan tak terlalu mempermasalahkannya. Namun, sepertinya Fuji malah menangkap maksud lain.

"Eh, nggak—ma, maksudku, kalau jus yang hari lalu nggak aku buang—eh, aku ... Aku campur sama jus buatan mama—eh,"— Tingkahnya kembali gelagapan tanpa berani menatapku dan sebelah tangannya—yang tidak memegang buku—bergerak-gerak acak seakan mencari suatu pegangan.

Akan tetapi, ucapannya terhenti ketika dia melihat aku yang sudah mengulas senyum geli dengan sebelah alis yang terangkat.

Wajahnya memerah hingga telinga, dia langsung menunduk sedalam-dalamnya menahan rasa malu. Entah kenapa, imajinasi di kepalaku menangkap kabut asap tebal menguap seketika dari kepalanya hingga terdengar suara 'Bwoosshh!'.

"A—aku, seharusnya menolak tawaranmu, ya?"

Aku tertawa kecil melihat tingkahnya. "Sudahlah, nggak apa-apa."

Gadis Bangku Taman [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang