Heaven In Your Eyes -7-

16K 1.3K 9
                                    

“Hmm.”

            Kalin meneliti pakaian-pakaian milik Arun dan segera menemukan beberapa pakaian yang menurutnya sudah seharusnya  masuk gudang. Selera suaminya sebenarnya tidak begitu buruk. Hanya saja, Arun sepertinya terlalu sering memakai pakaian dengan style yang sama. Untuk Kalin, hal tersebut terlihat cukup membosankan.

            Setiap hari hanya kemeja warna polos atau sweater. Celana bahan. Ada beberapa mantel  dari bahan kulit yang cukup keren. Tapi mantel-mantel tersebut terlihat sudah usang.    

            Arun membutuhkan sentuhan tangan profesional. Pikir Kalin.

            “Saatnya beraksi.” Kalin tersenyum.

                                                                        ***

            “Di mana mantel abu-abu yang biasa  saya pakai?” tanya Arun yang bergerak tergesa-gesa keluar dari kamar pakaian masih dengan handuk dan polo shirt.

            Kalin menunjuk pakaian di atas tempat tidur yang sudah disiapkannya untuk Arun. “Aku sudah siapkan pakaian untuk kamu pakai.”

            Arun mendekat ke arah tempat tidur dan mengangkat sehelai kemeja kotak-kotak berwarna biru dan jins belel berwarna biru. Dia menghembuskan napas pendek.

            “Kamu apakan semua pakaian saya?” Arun menolak pakaian itu dan kembali ke lemari.

            “Aku masukkan kardus dan hanya menyisakan beberapa yang menurutku masih cukup bagus. Gimana kalo besok kita ke kota? Aku bisa milihin pakaian yang keren buat kamu.” Kalin menjawab dengan tersenyum.

            “Saya mau pakaian saya kembali.” Arun menatap Kalin tepat di ke dua matanya.

            “Tapi…” Kalin menggeleng. Mata Arun masih mengintimidasinya. “Oo…oke, oke. Kardusnya ada di sudut kamar.”

            Arun berbalik dan berjalan menuju dua buah kardus yang sudah tertutup rapat. Dia menarik sebuah kemeja putih dan celana abu-abu. Mantel yang dicarinya didapatkan di dasar kardus. Dia melangkah cepat menuju kamar, mengabaikan Kalin yang berdiri merapatkan punggung di dinding dekat pintu.

            Arun memakai pakaiannya dengan tergesa-gesa. Tanpa suara.

            “Arun. Aku hanya ingin membantumu. Aku melihat lemari pakaianmu dan kupikir aku harus melakukan sesuatu untuk…kamu.” Kalin mendesis melihat celana tua yang dipakai Arun. Yang ingin dilakukannya saat ini adalah meneriaki Arun dan menyuruhnya segera mengganti pakaiannya.

            “Sesuatu seperti mengacak-acak lemari pakaian orang lain tanpa ijin?” Arun memakai sabuk hitamnya.

            “Aku hanya ingin membuatmu terlihat lebih…baik.” Kalin akhirnya tidak tahan juga mendekati Arun yang masih berdiri di depan cermin. “Lihat kemeja ini. Warna putihnya sudah menguning. Dan celana kamu…”

            Arun menurunkan tangan kanan Kalin yang menyentuh kerah kemejanya. “Terimakasih atas kepedulianmu. Tapi saya tidak perlu penilaian kamu tentang pakaian saya.”

            Arun meninggalkan pijakannya di depan cermin dan mengambil kaus kaki yang tadi diletakkannya di atas sofa. “Jangan sentuh lemari pakaianku lagi.”

            “Kalau aku membelikan pakaian untuk kamu? Gimana?”

            “Termasuk itu juga.”

            Kalin mendengus, mengikuti langkah Arun keluar kamar dan kini menuruni tangga.

            “Percayalah, penampilan kamu akan jauh lebih baik kalau kamu mau mengikuti saranku.”

            “Tidak.”

            “Arun.”

            “Saya bilang tidak!” Arun mengeraskan suara.

            “Baiklah. Maafkan aku.” Kalin menghentikan langkahnya di anak tangga terakhir. Setelah merasa cukup tenang, Kalin masuk ke dapur dan mulai menyalakan mesin penyeduh kopi.

            Kalin menatap nanar ke arah Arun yang duduk di sofa ruang tengah sambil membaca koran.

            “Benar-benar keras kepala.”

Heaven In Your Eyes (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang