Tengah malam, Kalin duduk di kursi pantry. Menunggu bubur buatannya sedikit dingin. Airmatanya jatuh mengingat ibu. Dia menahan diri untuk tidak menghubungi ibu karena hanya akan membuat orang rumah panik. Ketika memutuskan untuk ikut dengan Arun, Kalin meyakinkan diri bahwa detik ketika dia meninggalkan rumah adalah detik di mana dia memiliki kehidupan yang berbeda. Memiliki keluarga sendiri. Dia tidak akan berkeluh-kesah, walau pesan ibu, Kalin bisa menghubungi ibu kapanpun dia mau. Bercerita tentang apapun, bahkan kalau dia mau mengadukan soal kelakuan Arun. Tapi Kalin tahu sekali dia membuka soal Arun, dia hanya akan mengeruhkan hubungan baik keluarganya dan keluarga Arun. Mereka sudah disatukan oleh perjodohan. Bahkan dia sendiri setuju untuk menikah dengan Arun karena dia sepertinya jatuh cinta kepada laki-laki itu.
Lagipula dia hanya demam, besok juga sembuh.
Kalin bertahan hanya pada suapan ke lima. Memaksakan suapan ke enam hanya akan membuatnya semakin mual dan bisa jadi memuntahkan kembali semua yang sudah ditelannya. Udara yang dingin semakin menyiksa.
Kepalanya yang pusing semakin terasa berat. Kalin tahu saat itu dia akan pingsan, tapi tidak ada yang bisa diandalkan untuk menolong kecuali dirinya sendiri.
Tepat ketika kakinya seperti tercabut dari pijakan, tubuhnya oleng bersama tangis yang berubah menjadi diam.
***
Arun terjaga semalaman, menunggui Kalin membuka mata. Orangtua Kalin akan memberikannya tanda bintang jasa karena tindakan gentlenya. Tindakan ini tidak terencana sebelumnya. Dia hanya melakukan apa yang bisa dilakukannya dalam keadaan darurat seperti ini. Tadinya dia menghubungi dokter Wirya, namun gagal karena masalah sinyal. Hujan deras di Puncak bukan kabar baik untuk operator selulernya.
Handuk kompres diletakkan di atas dahi Kalin yang masih tidur. Nyenyak sekali tidur istrinya itu, sementara dia harus begadang semalaman menunggui kalau Kalin mengigau lagi karena panas tinggi.
Arun menguap lebar-lebar dan memaksakan matanya untuk tidak terpengaruh oleh kantuk. Dia sudah merencanakan akan membawa Kalin ke dokter kalau keadaannya bertambah parah. Arun berharap hal itu tidak terjadi. Lebih baik dia menunggui Kalin di villa daripada di rumahsakit.
“Ibu…”
Rintihan Kalin menyusup di tengah-tengah kantuk Arun. Sekuat tenaga Arun menahan kantuk, pada akhirnya dia kalah juga oleh keinginan tubuhnya untuk tidur. Tapi dia cepat bangun mendengar suara Kalin yang memanggil-manggil ibunya.
“Ibu kamu nggak di sini.” Arun mengangkat tangannya untuk disentuhkan ke dahi Kalin.
Kalin menatapnya. Jauh di dalam hati Kalin mendamba perhatian dari Arun. Tapi sikap Arun yang tega memarahinya saat sedang sakit masih membekas di hatinya. Tidak ada orang yang pernah memarahinya sekejam itu. Tidak dari laki-laki yang dicintainya, dan yang diharapkan untuk melindunginya. Bukannya menyalahkan dan menyebutnya sebagai perempuan yang menyusahkan. Kalau seorang suami menganggap istrinya menyusahkan, mengapa tidak meninggalkannya saja?
Setelah menolak disentuh, Kalin merapatkan selimut dan kembali memunggungi Arun seperti waktu Arun membawakan bubur untuknya. “Terimakasih karena sudah merawatku.”
Di belakangnya, Arun duduk sambil menatap punggung Kalin. Jadi mereka impas sekarang.
***
Pagi-pagi sekali, Arun masuk membawakan sarapan berupa roti selai kacang dan susu. Katanya dokter akan datang sebentar lagi.
Kalin masih berbaring dengan posisi yang sama. Memberikan punggungnya untuk ditatap Arun. Tapi Arun tidak kehabisan akal. Dia memutari tempat tidur, menyingkap tirai jendela dan duduk dengan tangan ditempelkan ke dahi Kalin. Entah sudah berapa kali gerakan tangannya itu. Setiapkali itu juga, Kalin merasa ada getaran listrik yang merambat dari persinggungan dua jenis kulit yang berbeda itu. Menimbulkan perasaan senang sekaligus takut.
Apakah Arun hanya akan bersikap perhatian ketika Kalin sakit? Atau setelah menyakiti perasaan Kalin?
Kalin sangat ingin mendengar kata maaf dari Arun. Jika dia mendengar ucapan itu sekali saja, dia yakin hatinya yang sedang terluka akan berangsur membaik seiring kondisinya yang juga membaik. Jika sebelumnya tubuhnya terasa lemas ketika digerakkan, sekarang Kalin sudah bisa duduk walau hanya sebentar.
Mengapa sangat sulit mengucapkan maaf?
Dokter Wirya memeriksa kondisi tubuh Kalin. Pemeriksaannya hanya sebentar saja. Ternyata memang hanya demam biasa. Kalin hanya kelelahan dan butuh istirahat sampai tiga hari ke depan.
Kalin tenang mendengarnya. Tapi dia juga ingin merabai keberuntungan jika penyakitnya ternyata lebih parah dari sekedar demam. Bagaimana kalau dia harus diopname berminggu-minggu di rumahsakit karena faktor sakit hati? Apakah Arun bersedia menjaganya? Atau malah mengirimnya ke Jakarta untuk dirawat oleh orang tua Kalin?
“Maaf, Kalin.”
Akhirnya Kalin bisa mendengar kata yang sudah dinanti-nantikannya sejak kemarin. Senyumnya terbit di antara rintihan karena kepalanya pusing. Semoga Arun berubah jadi lebih baik. Dia mencintai suaminya dan berharap Arun bisa membalasnya. Sekalipun bukan dengan ucapan cinta dan sayang setiap hari. Arun bersikap baik saja, Kalin sudah bersyukur.
***
Deringan ponsel membangunkan Kalin dari tidur lelapnya. Selama tiga hari terserang demam, baru kali ini dia bangun dengan tubuh yang terasa segar dan bugar.
Kesha. Nomer handphone adiknya membuat kelopak mata Kalin membuka lebih lebar, walau dengan malas-malasan diangkatnya panggilan dari Kesha.
Kesha hanya menanyakan kabar Kalin. Dengan yakin, Kalin mengatakan kalau keadaannya baik-baik saja. Kesha menanyakan apakah Kalin sudah sembuh.
Kalin memutar tubuhnya hingga menyamping ke sebelah kanan, menghadap meja kerja di mana Arun sering terlihat bersama laptopnya hingga larut malam. Seingatnya, dia tidak pernah mengabari ke Jakarta kalau dia sedang sakit. Kalin mencoba menebak kalau mungkin saja Arun yang memberitahu. Ketika Kesha mengatakan kalau ibu mencemaskan keadaan Kalin, Kalin masih belum yakin kalau memang Arun yang memberi kabar tentang sakit yang dideritanya selama tiga hari ini. Mungkin keluarganya di Jakarta tahu kabar sakitnya lewat Bik Rum.
Suara Kesha yang hangat membuat perasaan Kalin jadi lebih baik. Kalin menutup pembicaraan mereka dengan pesan bahwa keadaannya baik. Dia meminta Kesha menyampaikan pesan tersebut kepada ibunya.
Belum semenit meletakkan ponsel, ibu menelepon. Kalin berusaha meyakinkan kalau dia sudah sembuh. Ibu lega mendengarnya dan meminta Kalin untuk menjaga kesehatannya. Udara Puncak yang dingin butuh penyesuaian dari orang-orang yang terbiasa hidup di daerah berhawa panas seperti di Jakarta.
Kalin membayangkan tentang keluarganya yang tengah berkumpul untuk sarapan pagi bersama ketika suara ketukan pintu terdengar. Kalin lekas membalikkan badannya dan menarik selimut yang menutupi tubuhnya hingga sebatas leher.
Suara pelan Arun yang memanggil namanya disertai tepukan lembut di bahunya membuat Kalin bergeming. Lalu beberapa patah kata yang diucapkan dengan hati-hati.
“Kamu mau sarapan sekarang?” tanya Arun yang seolah tahu bahwa Kalin hanya sedang berpura-pura tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heaven In Your Eyes (Completed)
RomanceIn your eyes i see. Love. Heaven. Arundaya Agyana- Kalinda Triatomo