Arun menepati ucapannya bahwa dia akan pulang untuk makan siang. Makanan yang sudah disiapkan Kalin menarik perhatiannya. Perutnya sudah lapar dan disambut dengan makanan enak juga penampilan cantik dari sang isteri.
Tidak pernah disangkalnya sekalipun kalau Kalin memang menarik. Rambut Kalin yang panjang digelung rapi. Sweater putih dipadukan rok katun panjang warna hitam. Walaupun Arun selalu mengingat dress motif floral yang dikenakan Kalin ketika mereka mengunjungi peternakan. Saat itu Arun selalu menahan dirinya untuk tidak menyentuh kulit halus Kalin yang merona di bawah sinar matahari.
Semakin hari masakan Kalin semakin baik. Arun sebetulnya tidak pernah terlalu mempersoalkan tentang masakan Kalin apakah akan semakin baik atau malah semakin buruk. Dia lebih butuh sikap ramah Kalin di meja makan yang meladeninya dengan semangat dan menanggapi tanpa sikap tersinggung ketika Arun mengkritik masakannya. Karena dengan begitu, Arun bisa menguji kesabaran Kalin menghadapi sikapnya yang dingin.
Siang itu Kalin jadi lebih pendiam. Tidak ada cerita apapun meluncur dari bibir Kalin yang selalu dipoles lipstick tipis-tipis. Arun mengangkat wajahnya, menatap Kalin dengan ekspresi datar dan Kalin menanggapi dengan tatapan serupa.
Arun sudah biasa dengan ekspresi datar, tapi Kalin tidak.
“Kamu masih marah sama saya?” tanya Arun dengan suara berat dan tatapan yang fokus sepenuhnya kepada Kalin.
Dia akan berhenti menanyakan pertanyaan itu jika sikap Kalin tidak kunjung melunak. Arun tidak tahu apa yang bisa dilakukannya supaya Kalin bisa memaafkannya.
“Memangnya kamu peduli soal itu?” Kalin mengalihkan pandangan. “Aku marah atau nggak, itu nggak akan ada pengaruhnya sama sikap kamu ke aku.”
Ya. Kalin jelas masih marah. Arun tidak ingin memvonis siapa di antara mereka yang salah. Atau bersifat kekanak-kanakan. Sikap Kalin adalah jawaban atas sikap Arun selama mereka sudah menikah. Arun pikir Kalin akan memahami sikap dinginnya.
Dan bukan maksud Arun seperti itu. Dia hanya butuh waktu. Waktu untuk mengenal Kalin lebih lama.
Arun tidak akan menyalahkan perkenalan mereka yang terlalu singkat. Juga menyalahkan dirinya mengapa dia mau menikah dengan Kalin, gadis yang dia tahu bisa mendapatkan laki-laki yang lebih baik darinya. Atau mereka terlalu cepat memutuskan untuk menikah. Mereka seharusnya bisa seperti pasangan lainnya. Berpacaran selama bertahun-tahun dan bukannya saling menjajaki hanya dalam kurun waktu kurang dari sebulan lalu memutuskan menikah dan berencana hidup bersama seumur hidup?
“Maaf, Arun. Nanti aja lagi ngomongnya. Aku tahu nggak baik suami isteri berantem di meja makan.” Kalin meneguk air putih yang menutup makan siangnya yang tidak seberapa banyak itu.
Ketika hendak beranjak dari ruang makan, Arun memanggilnya.
“Kalin. Saya cuma mau kamu tahu, kalau saya baru saja kehilangan sosok kamu yang dulu. Sinarmu sedang redup.”
Kalin melemparkan senyum kecut dan bergegas menaiki anak tangga. Arun menggunakan perumpaan untuk sikap diam dan tidak acuhnya. Mungkin, kepribadiannya memang tidak cocok dengan yang sekarang. Kalin adalah matahari yang selalu bersinar terang. Jika dia redup, maka sekelilingnya akan ikut meredup.
Arun baru saja mengutip perumpamaan yang biasa dikatakan ayah Kalin jika Kalin sedang sakit dan tidak ceria seperti biasanya. Dalam hal ini, Kalin jadi bertanya-tanya, apakah Arun memang betul-betul menjiplak kata-kata ayahnya.
Tidak banyak hal yang bisa dilakukan Kalin di dalam villa itu. Pengalaman selama di Jakarta, jika bosan tinggal di rumah, dia akan menghubungi sahabat-sahabatnya untuk berjalan-jalan. Sekedar berkumpul di kafe, belanja, atau nonton. Tapi di sini, jika bosan maka yang bisa dilakukannya hanya menelepon sahabat-sahabatnya.
Arun baru saja memasuki kamar. Wajahnya nampak lelah setelah seharian bekerja. Tadi, suaminya itu tidak pulang untuk makan siang. Well, bukan karena ingin memperpanjang perselisihan di antara mereka, tapi karena Arun harus melihat lahan peternakan baru. Begitu yang dikabarkannya lewat SMS.
Dari tempatnya duduk-di tempat tidur- Kalin bisa mencium aroma keringat bercampur parfum ketika Arun masuk kamar. Seharian bekerja tentunya akan membuat aroma tubuh Arun jadi tidak karuan. Tapi Kalin tidak masalah dengan hal itu.
Arun mengambil handuk putih baru yang disiapkan Kalin untuknya. Terlipat di atas tempat tidur. Kalin menunduk menatap halaman majalah Vogue, salah satu hiburan yang bisa membuatnya tetap terhubung dengan trend fashion ketika Arun berjalan di sekitarnya. Setelah Arun masuk ke kamar mandi, barulah Kalin melepaskan pandangannya dari majalah itu. Dia beranjak untuk mengambil pakaian yang akan dipakai Arun setelah mandi. Ditariknya sebuah kaos hijau lengan panjang dan celana panjang kaus. Ketika menarik laci berisi pakaian dalam Arun, Kalin menggigit bibir.
Sudah dua bulan dan tidak ada perkembangan.
Kalin mengenyahkan pikirannya. Pikiran bodohnya. Berpikir bahwa Arun akan memberinya kesempatan untuk menunaikan kewajibannya sebagai seorang isteri adalah pikiran yang benar-benar bodoh.
Kalin menggelengkan kepalanya pelan. Argh, lupakan saja, Kalin. Lupakan.
Kalin mencoba mensugesti dirinya.
Arun keluar dari kamar mandi dengan sikap seperti biasa. Diam, memakai pakaian yang sudah disiapkan Kalin lalu turun ke lantai bawah, melakukan ritual makan malam, atau jika pekerjaannya banyak, dia akan mencoba menyelesaikannya sampai larut malam.
Walau kali ini dia mengatakan sesuatu tentang…
“Kalin. Bagaimana kalau kita pindah rumah?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Heaven In Your Eyes (Completed)
RomanceIn your eyes i see. Love. Heaven. Arundaya Agyana- Kalinda Triatomo