Heaven In Your Eyes -34-

18.7K 1.4K 68
                                    

Sesampainya di Jakarta, Kalin memilih pulang ke rumah orangtuanya. Lebih baik dia tidak menghindar lagi. Jujur. Tidak lagi peduli jika dicecar pertanyaan mengapa dia ke Jakarta sendirian saja. Secara teknis dia memang tidak sendiri, karena Raga mengantarnya. Tapi tetap saja, dia tidak sedang bersama Arun.

Arun? Kira-kira bagaimana reaksi Arun ketika mengetahuinya meninggalkan rumah?

Ah. Memangnya Arun masih peduli?

Berulangkali memori tentang Arun ditepis Kalin. Dia tidak ingin merasakan sakit hati yang jauh lebih dalam dari yang bisa ditanggung. Bukankah Arun lebih mengkhawatirkan kondisi Ambar daripada dirinya sendiri sebagai isteri Arun?

"Kalin?"

Wajah ibu nampak senang ketika melihat Kalin memasuki rumah.

"Bu."

"Kamu kok nggak bilang-bilang mau ke Jakarta?"

"Kalin mau bikin kejutan." Kalin memeluk ibu, dan memasang senyum di wajahnya.

"Arun mana?"

"Lagi sibuk kerja, Bu."

"Trus kapan dia nyusul ke sini?"

Kalin mendesah. "Nggak tau, Bu."

Ibu mengikuti langkah Kalin menuju kamarnya di lantai atas.

"Kamu marahan lagi sama Arun?" tanya ibu setelah mereka tiba di dalam kamar.

Kalin melepaskan syal yang melilit di leher dan mengambil bantal untuk menyangga punggung ketika duduk.

"Iya, Bu."

Ibu hanya tersenyum. "Arun kapan nyusul ke sini?"

Kalin tidak menjawab, karena merasa hal itu sudah bukan menjadi urusannya lagi. Sebaliknya, Kalin kini mengalihkan ke topik lain.

"O, ya. Kesha mana?"

***

Arun masih duduk di belakang kemudi, memandangi gerbang pagar rumah Kalin yang masih tertutup rapat. Sudah melangkah sejauh ini, apakah dia akan mundur begitu saja?

Kembali dinyalakannya lagi mesin mobil setelah meyakinkan diri untuk menemui Kalin.

Sekali ini, sebelum mereka memutuskan yang terbaik untuk mereka berdua.

Kini, setelah pintu gerbang terbuka untuknya, Arun kembali merasakan lonjakan perasaan yang datang tiba-tiba.

Apakah masih ada kesempatan?

"Silahkan masuk, Den."

Setelah melewati pos satpam, Arun memajukan mobil di halaman rumah. Setelah dirasanya posisi mobil tidak menghalangi mobil yang akan keluar dari garasi, Arun pun mematikan mesin.

"Arun?"

Suara mertua perempuannya menyiratkan perasaan terkejut.

"Bu." Arun melangkah ke ruang tengah, menyalami sang ibu mertua.

"Baru datang?"

"Iya."

"Ayo, duduk dulu."

"Iya. Terimakasih." Arun menurut. Dia mengikuti ibu Kalin yang mempersilahkannya duduk terlebih dulu.

"Kalin lagi istirahat di kamar. Kamu susulin aja ke atas."

"Kalin lagi istirahat. Takut mengganggu."

Ibu Kalin menggeleng. "Susulin aja."

"Iya, Bu."

***

"Siapa?"

Kalin bersuara setelah mendengar ketukan di pintu.

Beberapa saat tidak terdengar jawaban. Suara ketukan terdengar lagi.

"Siapa sih?" ulangnya.

Suara ketukan terhenti. Menyisakan rasa penasaran.

Kalin mengikat asal rambut sebahunya, merapikan pakaian sebelum melangkah ke pintu. Saat pintu terkuak sedikit, bayangan wajah Arun yang terlihat.

Tidak disangka, Arun menyusul.

"Aku boleh masuk?"

Kalin masih memegang handle pintu, berpikir dalam beberapa detik. Bimbang antara menutup pintu, atau membukanya lebih lebar. Tapi kemudian opsi ke dua yang dipilih. Kalin melangkah mundur, menunggu sampai Arun menutup pintu, sebelum membalikkan badan.

Hari itu, Arun mengenakan jaket denim yang pernah dipilihkannya sewaktu ngotot membelikan baju baru untuk Arun. Seingatnya, jins belel yang dipakai Arun saat itu juga adalah pilihannya.

Ingin membuatnya terkesan?

"Kamu..."

Kalin tidak bisa menahan mulutnya untuk tidak bersuara.

Arun menjawab. "Aku sudah sarapan sebelum ke sini."

Arun rupanya sudah tahu apa yang akan ditanyakannya.

"Aku pergi karena kesal sama kamu." Kalin bersuara kembali.

"Aku minta maaf."

Kalin menggeleng pelan.

Minta maaf. Arun hanya bisa meminta maaf, kemudian melakukan apa yang diinginkan, sesukanya.

"Lalu setelah minta maaf apalagi?"

Arun tidak menjawab.

Sebelum berangkat ke Jakarta, dia tidak berharap Kalin akan begitu saja memaafkannya. Namun melihat wajah Kalin lagi, memastikannya baik-baik saja, ada satu keyakinan yang mulai terbentuk dalam dirinya.

"Mungkin, aku sudah lama tidak mengajak kamu...jalan-jalan."

Kalin yang kini terdiam. Arun menyusulnya, meminta maaf, dan mengajak berjalan-jalan?

"Banyak hal yang ingin aku ceritakan."

Kalin memilih duduk di tepi tempat tidur.

"Aku sedang marah sama kamu," katanya, seolah menegaskan bahwa ajakan jalan-jalan itu sama sekali tidak mempan.

Arun mendudukkan badannya pada sofa yang menempel di dinding.

"Aku tau, aku tidak bisa memaksa kamu." Arun melepaskan jaketnya dan membaringkan badannya. "Aku tunggu jawaban kamu sampai besok pagi."

"Siapa yang nyuruh kamu nginap?" Kalin berujar ketus.

"Kalau aku tidak boleh tidur di sini..."

Kalin memotong. "Terserah."

***

Arun membawa tas ransel. Tas hitam lusuh itu yang terus-menerus dipandangi Kalin sejak benda itu diletakkan Arun di sisi sofa yang digunakannya beristirahat.

Kalin berhasil menyingkirkan pakaian-pakaian usang milik Arun, tapi tidak tas bulukan itu.

Kalin kembali berbaring.

Jika diingat-ingat lagi saat ketika dia marah setelah membaca SMS Arun, dia tidak menyangka akan jadi begini.

m

Heaven In Your Eyes (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang