Arun memasukkan ponsel ke dalam saku jins, lalu kembali menghampiri Ambar yang ditinggalkannya sebentar ketika menerima telepon dari Kalin. Dari cara Kalin menutup percakapan mereka tanpa pamit, dia sudah tahu Kalin marah padanya.
"Mau pulang?" tanya Ambar dengan suara begitu pelan.
Arun memutari kursi roda sebelum membungkukkan badan di depan Ambar yang duduk di atas kursi roda. Wajah Ambar sudah tidak sepucat sebelum Arun membawanya berjalan-jalan di sekitar halaman rumahnya.
"Iya. Besok aku datang lagi."
Wajah Ambar menyunggingkan senyum. "Besok datang lagi."
Arun pelan-pelan menegakkan kembali badannya. Di pikirannya hanya bagaimana lekas sampai di rumah dan menenangkan Kalin.
"Cincinmu?" Ambar menunjukkan lagi cincin yang dipakainya di jari manis. Sejak koma, cincin itu tidak pernah terlepas dari jemarinya.
"Besok kupakai." Arun menjawab tanpa berlama-lama memandangi wajah Ambar.
Kalau saja Ambar mengetahui statusnya yang kini sudah menikah...
Dia belum pernah memberitahu Ambar. Entah kapan. Entah bagaimana reaksi Ambar.
Arun sendiri bukannya ingin terus menyembunyikan fakta yang sebenarnya dari Ambar. Tapi bagaimana mungkin menjelaskan statusnya kini, sementara Ambar belum benar-benar pulih. Pikirannya, fisiknya masih sangat labil. Dia ingin menjauh, namun ternyata menurut Erwin, Ambar sering mencarinya.
Dia sadar, bahwa dia harus mengambil keputusan tegas jika tidak ingin membuat keadaan semakin berlarut-larut. Kalin akan mencapnya sebagai suami yang tidak bertanggungjawab, sementara dia selalu berusaha menjalankan peran sebagai suami yang baik untuk Kalin. Mungkin sesekali dia telah membuat Kalin kesal, seperti saat ini. Kata-kata yang dikeluarkannya terkadang disesalinya sendiri.
Komunikasinya dengan Kalin seringkali dirasanya aneh.
Sampai di rumah, Arun langsung mencari Kalin. Seperti biasa, Kalin sudah sibuk di dapur menyiapkan makan malam. Kalin hanya berbalik melihatnya sejenak, kemudian kembali menghadap kompor.
"Aku mandi dulu."
Kalin yang biasanya menyahut hanya diam saja.
"Sayang..." Arun menggantung kalimatnya. Dia masih merasa sapaan itu terkadang asing untuk diucapkan. "Aku mandi dulu."
Karena Kalin tidak kunjung bereaksi, Arun melangkah ke dapur. Kalin akhirnya membalikkan badan.
"Mau ngapain lagi? Mandi aja sana." Kalin menyingkir dari depan kompor untuk mengambil baskom berisi daun selada.
"Maaf udah bikin kamu marah." Arun tahu ini berlebihan. Tapi dipeluknya juga pinggang Kalin dari belakang.
"Ngapain sih meluk-meluk?" Kalin terdengar protes sambil melepaskan pelukan di pinggangnya.
"Kalin, maaf." Arun kembali mengulanginya.
"Nggak perlu. Besok kamu pasti ketemu dia lagi kan? Harusnya kamu tau yang mana yang harus jadi prioritas kamu. Aku lagi hamil, Run. Kamu nggak mikirin perasaan aku? Kamu memang nggak pernah mikirin perasaan aku."
Arun mundur saat Kalin menggumam tidak ingin diganggu.
"Ambar baru aja sembuh, Kalin. Aku minta maaf sudah menyakiti perasaan kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Heaven In Your Eyes (Completed)
RomanceIn your eyes i see. Love. Heaven. Arundaya Agyana- Kalinda Triatomo