Ketika terjaga di waktu Subuh, Kalin tidak menemukan Arun. Dia baru akan memanggil Arun, ketika melihat pintu kamar mandi tertutup. Dari ventilasi, lampu kamar mandi sedang menyala. Berarti Arun ada di dalam.
Kalin turun dari tempat tidur, membaui kaus putih yang dipakai Arun tidur. Setelah puas menghirup aroma tubuh Arun, Kalin meletakkan kaus itu di atas sofa yang terletak tidak jauh dari tempat tidur. Rambutnya digelung asal-asalan dan mulai dirapikannya tempat tidur yang semalam dipakainya tidur bersama Arun.
Kalin menunggui Arun selesai mandi. Pintu kamar mandi terbuka nyaris sepuluh menit kemudian. Arun keluar dari kamar mandi hanya menggunakan handuk putihnya.
“Hari ini mau ke peternakan? Aku pilihkan kemeja kotak-kotak dan jins hitam. Mau pake topi koboi juga?” Kalin nyengir.
Arun hanya menggerakkan sudut bibir kanannya mendengar celotehan Kalin. Dia mengambil kaus putih yang biasanya dipakainya sebelum memakai kemeja. Memakainya di bawah tatapan penuh minat dari Kalin. “Tunggu apalagi?”
Kalin memainkan ujung dress tidurnya dengan ke dua tangannya. “Kamu mau sarapan apa?”
“Apa saja.”
“Nggak ada yang namanya makanan ‘apa saja’ ” Kalin meluruskan, tentu saja dengan maksud bercanda.
“Nasi goreng.”
Arun berharap jawabannya sudah cukup mengusir Kalin keluar dari kamar. Dia harus berganti pakaian. Keberadaan Kalin di situ membuatnya tidak leluasa.
“Apalagi?”
Kalin menyentuhkan jari telunjuk ke bibirnya. “Mm, soal ciuman kamu waktu itu. Aku mau tau kenapa kamu ngelakuinnya?”
Tidak percaya akan mendapatkan pertanyaan semacam itu, Arun merasakan ada sentakan dalam hatinya. Ke dua telinganya bahkan langsung berdenging. Bagaimana menjelaskan kepada Kalin kalau apa yang dilakukannya waktu itu karena dorongan nafsu?
“Itu bukan hal yang disengaja,” jawab Arun sambil memasang celana jinsnya. Pikirannya teralihkan dari ketidaksukaannya ketika Kalin memandanginya sedang berpakaian ke pikirannya waktu kecelakaan itu terjadi.
“Tapi aku merasakannya berbeda. Seperti kamu menginginkanku…” Kalin merasakan pipinya memanas.
“Lupakan saja,” Arun kini mengancingkan kemejanya satu demi satu.
“Aku nggak akan pernah bisa lupa.” Kalin berdiri dengan sikap serba salah. “Aku nggak akan lupa sesuatu yang aku sukai.”
“Kalau begitu, berusahalah untuk tidak menyukai hal itu.” Arun menyisir rambutnya di depan cermin dan di balik punggungnya, wajah Kalin yang sedang menatapnya bergerak mendekat.
“Gimana mungkin aku nggak menyukai ciuman dari laki-laki yang aku suka?”
Arun menggeser tubuhnya dari depan cermin. Dia juga harus belajar mengabaikan Kalin sebisanya. Pernikahan mereka mau tidak mau memungkinkan kedekatannya dengan Kalin. Sampai kapanpun Arun akan berusaha menjauhi Kalin. Jadi untuk apa dia setuju menikah dengan Kalin kalau akhirnya harus menghindarinya?
“Belajarlah untuk tidak menyukaiku.”
Kalin menggeleng. “Aku nggak mau ngelakuinnya.”
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Heaven In Your Eyes (Completed)
RomanceIn your eyes i see. Love. Heaven. Arundaya Agyana- Kalinda Triatomo