Heaven In Your Eyes -32-

16.7K 1.5K 46
                                    

"Darimana... baru... datang?" Ambar mengucapkan pertanyaan itu dengan kalimat terbata. Semalaman kepalanya pusing.

Arun tersenyum tipis. "Banyak pekerjaan."

"Selalu sibuk kamu." Ambar menunggu sampai Arun memutar ke belakang dan mendorong kursi roda.

Arun mulai mendorong kursi roda menuju ke jajaran pot bunga di atas bangku kayu yang dibuat bertingkat. Warna merah dan kuning mahkota bunga di setiap pot plastik menjadi objek perhatian Ambar. Ambar bukan penyuka tanaman hias. Ibunya lah yang suka menanam dan merawat bunga. Arun masih ingat bagaimana Ambar mengakui dirinya bukan perempuan telaten yang akan mengurusi rumah, termasuk menata taman seperti kesukaan ibunya. Namun demi Arun, dia akan mencoba belajar.

"Kalau kita nikah nanti, kita mau tinggal di mana?"

Ambar bertanya sambil menyentuh tangan kanan Arun yang masih memegang kursi roda. Menyadarkan Arun yang tadinya sedang setengah melamun. Dia tengah bersama Ambar, dengan Kalin yang sedang bermain-main dalam pikirannya.

Mengapa dia tidak jujur saja sekarang?

"Iya, Ambar. Kamu bilang apa tadi?"

Ambar mengulangi pertanyaan, dengan suara yang lebih keras. Mendengar pertanyaan Ambar barusan, Arun cukup terkejut.

Mereka tidak akan menikah.

"Saya...belum tau soal itu," jawab Arun.

"Aku sudah sehat, Run. Aku siap menikah sama kamu."

"Ambar, sebenarnya..." Arun menelan perkataannya. Ini tidak akan mudah.

Tidak akan pernah mudah, mengingat kondisi Ambar saat ini.

Tapi menyimpan rahasia lebih lama akan semakin menyakitkan untuk semua pihak.

"Kenapa, Run? Kita jadi nikah kan?"

Arun merasakan genggaman tangannya di ke dua besi pegangan kursi roda semakin mengerat. Dia melepaskan genggamannya pelan-pelan. Memutari kursi roda. Wajah Ambar masih terlihat pucat. Sorot matanya masih lemah.

"Aku sudah menikah, Ambar."

***

Kalin sudah berkali-kali mempertimbangkan hal yang sama. Pergi ke Jakarta mungkin bukan solusi yang baik. Namun, tinggal bersama Arun dengan masa lalu bersama Ambar juga bukan pilihan yang mengenakkan.

***

"Menikah? Aku nggak mengerti maksud kamu." Ambar memandang Arun.

Arun mengatupkan rahang. "Saya memang sudah menikah dengan perempuan lain."

"Kamu jangan bercanda, Arun."

"Saya serius. Maafkan saya."

"Aku sedang sakit, Arun. Kamu nggak mungkin meninggalkan aku dalam keadaan seperti ini."

Tangisan Ambar langsung pecah. Dia tidak punya tenaga untuk berteriak histeris.

"Maaf."

"Kenapa, Arun? Kenapa?" Ambar terus mengulang pertanyaan itu. Airmatanya semakin berlelehan.

Bagaimana mungkin Arun menikahi perempuan lain ketika dirinya tengah terbaring lemah?

Apakah keluarganya juga turut andil dalam hal ini? Apakah keluarga Arun yang meminta Arun menikahi perempuan lain?

Dia bertahan hidup dan kini ketika dia telah sadar, kenyataan pahitlah yang menyambutnya.

"Arun."

"Saya akan terus menemani pemulihan kamu. Saya nggak akan pernah meninggalkan kamu."

"Aku cinta sama kamu, Run. Sejak dulu."

***

Niat Kalin untuk menutup kopernya urung ketika mendengar bunyi bel. Bik Sumi sedang berada di dapur, tapi Kalin sudah lebih dulu berteriak bahwa dia yang akan membuka pintu.

"Raga. Kamu ngapain sore-sore begini?"

"Aku abis dari proyek. Tapi kemalaman di jalan. Kalau mau ke Jakarta sepertinya nggak keburu."

Kalin membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan Raga untuk masuk. Raga menurunkan ransel di dekat meja sebelum duduk.

"Aku mau numpang bersih-bersih, sekalian numpang tidur dan makan malam. Arun belum pulang ya?"

Kalin menggeleng. "Belum. Mungkin sebentar lagi."

Kalin menatap jam dinding. Sudah hampir jam enam, Arun belum pulang juga. Dia tidak berniat menghubungi Arun. Palingan Arun telat pulang. Beberapa kali juga Arun sering begitu.

"Tapi aku boleh numpang nginap kan? Semalam saja. Besok pagi, aku ke Jakarta."

"Mm, aku harus nanya Arun dulu. Tunggu ya."

Kalin terpaksa naik ke lantai atas untuk mengambil ponsel di dalam kamar. Baru saja membuka ponsel, sebuah pesan masuk tertera di monitor.

Aku pulang agak malam. Ambar masuk rumahsakit. Aku sudah coba hubungi kamu, tp gak diangkat. Kalau sempat, miscall. Aku mau bicara.

Kalin sudah tidak berminat melihat ponselnya lagi.

Tadinya dia masih akan menunggu Arun pulang untuk bicara baik-baik, tapi sepertinya memang sudah tidak ada kesempatan lagi.

Kalin menghampiri koper yang masih terbuka.

Dengan perasaan sakit, ditutupnya koper hitam itu.

***

"Kamu mau ke Jakarta sore ini?"

Raga mengangkat alis. "Aku bilang tadi, aku ke Jakarta besok pagi."

"Tapi bisa kan ke Jakarta malam ini?" tanya Kalin sambil mengusap airmatanya.

"Kalin. Kamu kenapa?"

"Lagi kangen keluarga. Bisa kan, Ga?"

"Bisa. Mau berangkat sekarang?"

***



Haiiiii....

Maafin aku yang semakin jarang update,sekalinya update juga cuma seuprit. Belakangan ini aku lagi kena sindrom malas nulis, padahal waktu buat nulis banyak :) Semoga bisa lebih aktif nulis lagi yaa... banyak utang tulisan, soalnya :D  

Heaven In Your Eyes (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang