Satu jam dihabiskan Kalin untuk membaca resep sambil memotong-motong bahan-bahan untuk membuat tumis sayuran sederhana. Semua dilakukannya dengan seksama dan sangat hati-hati. Dia masih belum siap tangannya yang halus harus menyentuh daging ayam mentah. Jadi dia memakai sarung tangan plastik yang benar-benar steril. Mulutnya mengembuskan udara meniup poni yang tidak teraup bandana pengikat rambutnya.
“Masukkan potongan bawang putih cincang setelah tumisan bawang merahnya harum. Jangan sampai gosong.”
Kalin merapikan kacamata bening yang dipakainya memasak. Kacamata itu berguna untuk mencegah matanya teriritasi ketika memotong-motong bawang. Dan sekarang ketika menumis, dia memakainya lagi. Khawatir matanya akan kecipratan minyak.
Ternyata memasak bukan hal yang terlalu sulit. Sama seperti belajar menggunakan make-up. Yang penting langkah-langkahnya benar, hasilnya pasti tidak akan buruk.
Ibu pasti bakal senang dengar aku masak, batin Kalin. Dilanjutkannya lagi pekerjaan memasak sambil membayangkan reaksi Arun setelah mencicipi masakannya. Dia tidak mau mengulangi insiden mie goreng keasinan. Walaupun rasanya tidak sempurna, tapi masih cukup layak untuk dimakan. Kalin membaui tumisannya yang sudah jadi. Dia memastikan kompor sudah dalam keadaan mati. Kemudian dia mulai membereskan meja. Membawa semua wadah, talenan, wajan anti lengket yang dipakai memasak ke bak cuci piring dan meletakkan bumbu-bumbu kembali ke tempatnya semula. Dia akan mencuci piring setelah makan.
Setelah menyiapkan meja, Kalin menaiki tangga dengan semangat. Langkahnya memelan ketika tiba di depan pintu kamarnya dan Arun. Diketuknya pintu, dan suara Arun yang terdengar dari dalam dibalasnya dengan memutar kenop pintu.
“Waktunya makan malaaam. Maaf, membuat kamu menunggu lama.”
Arun memutar kepalanya kembali ke laptop dan menshut down. Dia memang sudah sangat lapar. Laptopnya selama masa menunggu panggilan makan malam digunakannya untuk bermain game. Setelah menutup laptop, Arun menyusul langkah Kalin. Membuka pintu dan menuruni tangga dengan agak cepat. Dia berharap masakan Kalin tidak ikut serta dalam menu makan malam mereka.
“Masakanku yang ini. Tumis sayuran dengan daging ayam.” Kalin menunjuk piring yang ditata super cantik dengan bunga-bunga yang dibuat dari tomat. “Selebihnya masakan Bik Sumi.”
Arun menyendok nasi kemudian mengambil ayam katsu dan tempe goreng. Dia hanya melirik sekali ke piring yang ditunjuk Kalin. Kalin menyantap masakannya dengan wajah menikmati. Apakah Kalin berbohong atau tidak, Arun tidak bisa menyimpulkan.
“Ayo dicoba.” Kalin menyendok tumis sayuran, tapi Arun menggeleng.
Kalin tidak kehabisan akal. Ditusuknya sepotong daging ayam dalam tumisan, dan mengarahkan ke mulut Arun yang tengah mengunyah dengan cepat. “Kalo nggak enak, aku nggak akan masak lagi.”
Arun mengambil garpu yang disodorkan Kalin dan mulai menggigit potongan ayamnya yang…lumayan. Lembut dan bumbunya tidak keasinan. Dia tidak yakin itu masakan Kalin. “Lumayan.” Arun berkata jujur.
Kalin dengan senang hati menggunakan garpu yang tadi dipakai Arun makan, untuk dipakainya makan. Darahnya berdesir mengingat bagaimana Arun menciumnya tapi kemudian melepaskannya tanpa pemberitahuan sebelumnya. Membuat Kalin merasa seolah dijatuhkan ke bumi setelah dibuai melewati langit ke tujuh.
Dia menginginkan Arun menyentuhnya seperti yang dilakukan suami kepada istrinya. Tapi mengungkit hal itu bisa saja akan membuat Arun mengejeknya sebagai perempuan agresif. Kalin bahkan tidak peduli Arun mengatakan hal itu kepadanya. Hanya Tuhan yang tahu bagaimana dahsyatnya ciuman Arun dan bagaimana Kalin menginginkannya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heaven In Your Eyes (Completed)
RomanceIn your eyes i see. Love. Heaven. Arundaya Agyana- Kalinda Triatomo