Pindah rumah? tapi ke mana?
Selama dua bulan tinggal di daerah berhawa dingin, Kalin merasa cukup mampu menyesuaikan diri. Kalau sekarang Arun mengusulkan mereka untuk pindah rumah, dia merasa hal itu terlalu cepat.
“Saya rasa rumah di peternakan lebih cocok buat kamu.”
Yeah. Kalin memang pernah bercita-cita tinggal di rumah peternakan bukan di villa yang kurang terpapar sinar matahari. Sejak Arun mengatakan bahwa setelah menikah mereka akan tinggal di villa yang merupakan rumah masa kecil Arun, saat itu juga Kalin membuang kemungkinan untuk tinggal di sekitar peternakan. Dia tidak menyangka jika Arun akan mengajaknya tinggal di rumah yang diinginkannya itu. Tapi mengapa sekarang? mengapa bukan sejak dulu?
“Serius? Kita akan pindah dari sini?” tanya Kalin dan jantungnya berdebar ketika Arun ikut duduk di tepi tempat tidur. Duduk di dekatnya lalu memandangnya tepat di ke dua matanya.
“Saya tahu kamu lebih suka tinggal di tempat yang lebih hangat.” Arun menyimpulkan.
Ya, dan dengan sikap kamu yang juga lebih hangat, batin Kalin.
Sejenak Kalin melupakan keinginannya untuk mendiamkan Arun. Mereka harus membicarakan hal ini lebih lanjut. Baginya tidak masalah mereka tinggal di mana. Asalkan tetap hidup bersama.
Tepat ketika Arun hendak mengatakan sesuatu, Kalin mengajaknya makan malam. Dan sepanjang makan malam itu mereka kembali menjadi canggung satu sama lain.
Arun menunggu perkembangan sikap Kalin setelah dia mengajak Kalin melihat rumah di peternakan yang sudah jadi. Jika sikap Kalin kembali seperti sebelumnya, keceriaan yang ditunggu-tunggunya, baginya sudah cukup.
Rumah yang mereka datangi sebulan lalu sudah siap untuk ditinggali.
Kalin benar-benar menyukai setiap lekuk rumah peternakan itu. Rumah mungil yang dibangun dengan konsep sederhana sesuai keinginannya ketika ayahnya dulu membuatkan rumah itu khusus untuk rumah peristirahatan keluarga mereka.
Mereka berhenti di dapur yang sudah dilengkapi dengan kitchen set dengan konsep sederhana. Arun berdiri di pintu dengan bagian tubuh sebelah kanannya bertumpu di bingkai pintu. Bersedekap, menunggu sampai Kalin selesai mengitari seluruh area dapur. Selama berada di sana, Kalin hanya sesekali menggumam kalau rumah itu indah, cantik, menyenangkan, namun belum ada kata-kata yang merujuk kepada keinginannya untuk segera pindah ke sana.
Apakah ada bagian dari rumah itu yang tidak sesuai dengan selera Kalin? Mungkin harus ada beberapa perubahan dari disain interior. Tapi, Arun tidak akan mengubah apapun dari rumah itu semata-mata karena rumah itu dibangun oleh ayah Kalin. Dia tidak punya hak untuk itu.
“Rumah ini kan cuma rumah peristirahatan? Aku pikir, aku hanya akan ke sini sewaktu-waktu saja.” Kalin mengatakan kalimat yang sudah cukup menyimpulkan jika dia tidak atau belum berminat tinggal di sana.
“Jadi, kamu mau tetap tinggal di villa?” tanya Arun hanya untuk memastikan.
“Mm, begitulah.” Kalin menjawab dengan cepat.
Arun mengangguk. “Baiklah. Kamu bisa ke sini kapanpun kamu mau.”
Kalin tersenyum. “Aku pasti akan selalu memberitahumu kapan aku mau ke sini.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Heaven In Your Eyes (Completed)
RomanceIn your eyes i see. Love. Heaven. Arundaya Agyana- Kalinda Triatomo