Kalin mengatakan dia masih berada di dalam mall, tepatnya dia pun menyebutkan nama restoran fast food. Arun memandang berkeliling. Dia mencoba mengingat-ingat di lantai berapa restoran fast food tersebut.
Di jalur sepanjang deretan food court, langkahnya terhenti. Di salah satu meja, dia mengenali Kalin duduk mengobrol bersama seorang laki-laki. Sepertinya mereka cukup akrab.
Arun berbalik. Sepertinya rencana untuk memberi kejutan kepada Kalin gagal total.
***
Arun mengamati Kalin yang baru saja selesai mandi. Kalin sepertinya biasa-biasa saja. Tidak ada ekspresi senang yang berlebihan.
Jadi, untuk itu Kalin pamit ke kota? Bertemu seorang laki-laki? Bagaimana mungkin Kalin melakukan sandiwara murahan seperti pagi tadi?
"Arun. Temanku mau datang ke sini. Dan aku cuma ingin memastikan kapan kamu punya waktu untuk bertemu dengannya." Kalin memulai percakapan mereka di meja makan.
"Sore atau malam."
"Baiklah. Bagaimana kalau besok siang?" Kalin menawarkan.
"Saya tidak bisa. Malam saja."
"Aku lebih suka kalau dia datang saat jam makan siang."
"Apa saya harus ketemu dia?" tanya Arun cepat.
"Aku nggak akan nerima tamu laki-laki kalo kamu lagi nggak di rumah." Kalin menjelaskan.
Arun menatap wajah Kalin sesaat. Dia menimbang-nimbang apakah akan menanyakan siapa teman Kalin yang akan datang. Apakah laki-laki yang ditemui Kalin dua hari yang lalu? Atau orang lain?
"Teman kamu yang mana?" tanya Arun akhirnya.
"Namanya Raga. Dia teman lama." Kalin menjawabnya dengan ragu. Lalu ditambahkan. "Mm, sebenarnya kami pernah punya hubungan...khusus. Tapi, sekarang kami hanya berteman. Jangan khawatir."
Arun tersenyum tipis. "Saya tidak khawatir. Beritahu dia. Besok siang."
Kalin meneguk air putih. "Baiklah. Aku SMS dia dulu. Besok siang ya?"
Arun hanya menjawab dengan anggukan.
***
"Apa aku terlambat?"
Kalin membuka pintu dan menemukan Raga tersenyum padanya. Raga melepaskan topi yang dipakainya dan mengikuti langkah Kalin masuk ke dalam rumah.
"Nggak. Ayo, aku kenalin sama Arun." Kalin membimbing Raga menuju ke ruang tengah tempat Arun duduk membaca koran.
"Raga."
"Arun."
Kalin menepuk paha Arun dengan lembut. "Sayang, bagaimana kalo kita langsung ke meja makan?"
Arun merasakan sekujur tubuhnya seperti tersengat listrik ketika tangan Kalin yang tadi menepuk pahanya kini sudah melingkari lengan kirinya. Kalin tersenyum lebar dan Arun berusaha menerjemahkannya sebagai sebuah...
Akting?
"Silahkan."
Kalin melepaskan gelayut tangannya di lengan Arun dan mulai menyendokkan nasi ke piring Arun.
"Ayo, Sayang. Dimakan."
Raga tersenyum menyaksikan kemesraan Kalin dan suaminya. "Kalian sudah lama kenal?"
Kalin tersenyum. "Tiga bulan sebelum menikah."
"Wow, cepat juga ya?" Raga balas tersenyum.
"Daripada pacaran lama-lama, lebih baik langsung nikah."
Tawa Raga meledak seketika. "Ya, pacaran bertahun-tahun bukan jaminan sebuah pasangan bisa menikah."
Kalin ikut tertawa walau benar-benar terpaksa. Lima tahun usia hubungannya dengan Raga. Hubungan yang sangat serius. Dan kenyataannya bukan Raga yang kini menjadi suaminya.
"Mm ya begitulah." Kalin masih tertawa kecil. "Bukan jodoh."
"Maaf waktu kalian menikah, aku tidak bisa datang." Raga menambahkan.
"Tapi kenapa? Aku sudah mengirimkanmu undangan kan? Lewat Stella?" Kalin mengerutkan kening.
"Masalahnya, aku patah hati." Raga tersenyum datar.
"Ya Tuhan, aku turut menyesal." Kalin lalu melirik Arun yang hanya mendengarkan obrolan mereka. Arun bahkan terlihat tidak peduli dengan kedatangan Raga.
Dia harus segera mengubah topik pembicaraan mereka.
"Jadi, proyek kamu jadinya di daerah mana saja, Ga?" tanya Kalin masih melirik Arun. Disentuhnya punggung tangan Arun yang memegang garpu. "Sayang, mau nambah lagi?"
Arun balas menatapnya. "Boleh."
"Mm, dimulai dari daerah sekitar Bogor. Ada juga di daerah sekitar sini. Jadi kamu jangan kaget kalau aku bakal sering mampir ke sini."
Kalin menyendokkan sayur asem ke mangkuk Arun. "Oh, ya?"
"Sekedar numpang minum dan istirahat." Raga menatap Kalin penuh arti.
"Aku harus nanya Arun kalo gitu." Kalin menelan ludah. Raga terlihat sedang menggodanya di depan suaminya sendiri. Tapi Arun mana peduli soal itu. "Arun, gimana?"
"Boleh. Silahkan saja. Teman Kalin adalah temanku juga."
"Aku jarang di rumah, Ga. Kadang aku ikut Arun ke perkebunan. Kadang aku ke kebun Strawberry. Rumah ini malah jadi sering kosong." Karena Arun tidak membantu, Kalin harus menolaknya sendiri.
"Di halaman rumah ada gazebo yang cukup nyaman. Kalau tidak ada orang, aku boleh numpang di situ?"
Kalin menggeram pelan. "Aku bisa bilang apa, Ga? Tentu saja boleh."
"Thanks." Raga tersenyum dan menatap Kalin penuh kemenangan.
Kalin sudah cukup bersandiwara menunjukkan kemesraan dengan Arun, tapi Raga tetap bisa menemukan keganjilan. Dan respon Arun benar-benar payah.
Pembicaraan terus bergulir di meja makan. Raga bercerita tentang proyek perumahan di mana dia dipercaya mengurus bagian instalasi listrik. Kebetulan proyek tersebut milik temannya jadi Raga dipercaya untuk join bersama mereka.
"Jadi, setelah menikah kalian langsung tinggal di sini?" tanya Raga sambil memotong lapis legit yang dihidangkan Kalin sebagai pencuci mulut.
"Hmm. Aku suka tinggal di sini," jawab Kalin cepat.
"Seingatku, kamu malah pernah bilang ingin tinggal di Bali. Tempat yang eksotik. Ternyata seleramu sudah berubah,"
"Arun menetap di sini, jadi aku harus ikut dong."
Raga tersenyum. "Sekalipun kamu nggak suka?"
Arun berdehem. "Sejak pertamakali ke tempat ini, Kalin langsung suka. Dan bukankah setelah menikah, seorang isteri harus mengikuti kemanapun suaminya pergi?"
Kalin merasakan perubahan nada bicara Arun. Tulang rahangnya bahkan sudah mengeras. Kalin mengulurkan tangannya untuk digenggam Arun. Namun Arun malah menjauhkan tangannya. Mengambil sendok untuk memotong lapis legit yang belum disentuhnya sejak tadi.
"Ya. Memang harus begitu." Raga enggan memperpanjang lagi topik itu, karena dia hanya ingin menguji saja. Dia kemudian melanjutkan percakapan dengan topik lain yang kini hanya melibatkan dirinya dan Kalin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heaven In Your Eyes (Completed)
RomanceIn your eyes i see. Love. Heaven. Arundaya Agyana- Kalinda Triatomo