6.

172 25 8
                                    


"Bagaimana kalau kita pacaran?"

"Hah? Hahaha, astaga, Minho oppa ini lucu sekali," Eunha terkekeh pelan lalu memukul pelan lengan pria itu sambil menggeleng – gelengkan kepalanya. Ternyata Minho juga memiliki kadar humor yang menarik, dia sepertinya memahami kalau Eunha berniat bercanda.

Namun, betapa terkejutnya dia ketika tangan Minho menangkap tangan Eunha yang memukul lengannya, menahan tangan Eunha dan meletakkan tangan mungil itu di dadanya.

"Aku serius."

Wajah Minho kali ini benar – benar tak tampak bercanda, "Aku suka padamu, Eunha."

Eunha benar – benar tidak dapat mempercayai pendengarannya sekarang. Serius? Yang benar? Minho mengajaknya berpacaran? Eunha mengerjap – ngerjapkan matanya semakin tak percaya, mungkin dia bermimpi.

"Eunha-ah?

"Ne?"

Minho tersenyum dengan lebarnya lalu kini tangan kanannya meraih pinggang Eunha yang nyaris terjungkal karena melangkah mundur, "Kau mendengarku?"

"A—aku uhm—" Eunha tergagap, bingung apa yang harus dia jawab. Sama sekali dia tidak pernah menganggap Minho lebih daripada rekan kerja ataupun sebatas temannya. Memanggil Minho dengan sebutan lebih akrab seperti 'oppa' saja masih membuatnya tak enak hati, apalagi ditambah Minho menyatakan perasaannya seperti ini?

"Pelan – pelan saja, kamu jangan terlalu terbebani seperti itu," Minho melepaskan tangannya dari pinggang Eunha dan hanya berdiri santai sambil tersenyum manis pada gadis itu yang masih terkejut. Minho tampak mengerti dengan perilaku kikuk Eunha sekarang. 

Eunha menegak salivanya dan mengangguk pelan, "Joesonghamndia,"

Salah satu alis Minho terangkat, "Kenapa kau masih saja berbicara formal denganku sih? Padahal sudah memanggilku oppa," kekeh Minho nampak berusaha biasa saja. 

"Ah, ne oppa, mianhae"

Minho hanya tertawa lalu mengacak pelan poni Eunha. Lalu kembali menyibukkan diri mereka dengan merapikan barang – barang café yang sebenarnya sudah tak perlu dirapikan lagi. Hanya tindakan - tindakan bodoh untuk meleburkan suasana yang canggung barusan. 

Eunha pun demikian, gadis itu tampak tak nyaman dan langsung berjalan ke belakang dapur entah melakukan apa. Ini memang bukan pertama kali Eunha menerima pernyataan cinta seperti itu walaupun dia tidak dekat dengan pria manapun, tapi rasanya selalu tidak biasa untuk mendengar hal – hal seperti ini.

Untung saja waktu terasa berlalu dengan cepat. Usai pernyataan tiba – tiba Minho tadi, tak terasa waktu sudah menunjukkan waktu untuk pulang bekerja dari café, hari terakhir mereka bekerja di tahun ini, karena besok café akan ditutup beberapa hari menyambut tahun baru. Dan Eunha sangat bersyukur akan fakta ini. Tumben sekali Eunha bersyukur tidak bekerja. 

"Eunha?"

Refleks Eunha menoleh pada Minho yang kali ini tampak menyandarkan kepalanya pada kusen pintu dapur yang memisahkan dapur belakang dan juga café depan. Pakaian dan juga apronnya sudah diganti dengan pakaian yang lebih kasual. Minho menyunggingkan senyum tipisnya walaupun direspon kikuk oleh Eunha yang saat ini hanya sedang mengatur beberapa box kue dalam lemari pendingin.

"Aku harap kamu tidak terbebani karena pernyataanku tadi," ucap Minho. Eunha hanya membalas tersenyum.

Minho yang melihat itu hanya menghela nafasnya dengan berat, "Aku jadi menyesal mengatakan hal seperti itu padamu"

"Tanggal 2 besok Soo eonnie bakal pulang dari Jepang," Eunha masih berusaha cuek seolah tidak mendengar. "Dan itu artinya, aku tidak akan ke café ini lagi. Ini hari terakhirku, aku tidak ingin meninggalkan kesan buruk padamu, Eunha-ah."

Pretended [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang