11

172 34 17
                                    

Jam berapa kalian baca ini?

"Turun yuk, Naa!"

"Loh, kok KFC?" Meski heran, aku tetap turun dari motor dan melepas helm yang kupakai.

"Kan aku udah nemenin kamu, jadi ... gantinya ayam KFC aja ya, Naa," ujar Seira sambil tersenyum jahilm

"Dih, katanya santai aja. Taunya, minta traktir juga," ujarku ketus dan Seira tertawa pelan menanggapinya.

"Nggak apalah, sekalian buat kamu juga kali, Naa. Soto kamu tadi cuma diaduk-aduk, nggak dimakan sama sekali, jadi nggak apa donk ke KFC buat isi perut." Seira menaikturunkan alisnya sambil menghadapku. Posisinya, saat ini kami sedang berjalan memasuki gedung KFC dengan Seira yang berjalan mundur, macam undur-undur.

"Iya-iyaa ... jalan yang bener, Ra. Nabrak pintu nanti," tegurku yang dituruti oleh Seira.

Tak lama, kami sudah duduk di bagian luar KFC dengan 2 porsi ayam, 2 sundae dan 2 mango float di hadapan kami.

"Selamat makan!" Seru Seira sambil meraih ayamnya dan menikmatinya, membuatku mengikutinya, berusaha menikmati ayam yang entah kenapa, malam ini rasanya terasa berbeda, hambarm

"Naa, pasti sakit ya, dengar semua perkataan nggak penting dari Om dan Tantemu tadi." Seira mengatakan hal tersebut setelah aku selesai dengan makananku. Sepertinya, ia sengaja membuatku makan sebelum memintaku bercerita.

"Sebenarnya, udah biasa sih, Ra. Mereka memang suka begitu, maksud mereka juga baik, aku aja yang terlalu sensitif," kataku sambil memandang keramaian di dalam ruangan.

"Iya, mereka udah biasa begitu, tapi kamu pasti susah buat bisa terbiasa dengerin ucapan mereka, yang ada, hati kamu malah makin sakit tiap denger perkataan mereka."

Mataku memanas mendengar pernyataan Seira. Seira benar, aku nggak pernah terbiasa dengan segala omongan mereka. Setiap bertemu mereka, segala perkataan menyudutkan ditujukan padaku, dan itu berat, berat untukku.

Mereka ingin aku bisa menjadi Meena yang luar biasa tanpa cela. Sayangnya, aku tidak bisa memenuhi permintaan mereka. Jadilah, mereka selalu mengungkitnya dan itu menambah beban pikiranku.

"Naa, nggak perlu ditahan. Kalau mau nangis, nangis aja. Nggak akan ada yang lihat selain aku," ujar Seira sambil menggenggam tangan kiriku.

Seira benar, aku sudah tidak mampu lagi menahan tangisanku, tanpa kusadari pipiku sudah basah oleh air mata. Pada akhirnya, akupun menangis sesenggukan di hadapan Seira sambil menutup wajahku dengan tangan. Untungnya, kami duduk di pojok yang jauh dari hiruk pikuk orang-orang yang mau makan, jadi tidak masalah jika aku menangis sebentar.

Suara kursi yang ditarik terdengar di indra pendengaranku. Tak lama, kurasakan ada tangan yang menepuk bahu dan punggungku pelan.

"Berat banget ya, Na. Nangis aja nggak apa kok, Na." Suara Seira mengalun pelan bersamaan dengan tepukan pelan di bahu dan punggungku. Hal itu, membuat tangisku semakin kencang. Semoga saja, kami tidak diusir oleh satpam.

Beberapa saat kemudian, aku mengangkat wajahku dan mengusap air mata dengan tissue yang disiapkan Seira.

"Aku salah banget ya, Ra? Aku menolak keinginan ayahku buat nerusin sekolahnya, Ra. Aku anak durhaka ya, Ra? Ayah pasti kecewa banget sama aku ya, Ra?" Beragam pertanyaan kuajukan secara bersamaan pada Seira.

Seira menggeleng pelan, kemudian ia berkata pelan "nggak, Naa. Kamu nggak salah, kok. Kamu berhak buat berjuang untuk bisa raih apa yang kamu inginkan. Kamu berhak menolak keinginan ayah kamu, kalau kamu memang nggak cocok sama keinginan ayahmu."

"Tapi, a-ku bi-kin ayahku susah, a-aku u-udah bikin ayah kecewa," ujarku sedikit kesusahan karena aku kembali sesenggukan.

"Kamu udah pernah tanya ayahmu, bagaimana perasaannya saat kamu akhirnya ambil HI?" Aku menggeleng pelan. "Terus, kamu bisa ambil kesimpulan darimana ayah kamu kecewa?"

520Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang