2

411 67 32
                                    

Ambarukmo Plaza masih sama seperti hari biasanya, ramai, meski malam mulai menyongsong. Bahkan, bangku-bangku yang berjajar di depan mall terlihat penuh. Ada yang sibuk berpose depan kamera, mengobrol, ada juga yang sekedar duduk melepas lelah.

Aku berjalan pelan membelah keramaian menuju pintu masuk mall. Aroma makanan tercium begitu memasuki mall. Langkah kakiku mengarah ke salah satu gerai donat untuk membeli minuman. Tak lama, segelas Vanila Latte dan sepotong donat ada di tanganku.

Saat ini, aku berdiri di tengah-tengah jembatan penyebrangan dengan Vanila Latte dan donat yang sudah termakan setengahnya. Mataku mengawasi kendaraan yang silih berganti di bawah sana. Lampu-lampu jalan menambah keindahan pemandangan di hadapanku.

"Hhhhh..." Aku menghembuskan nafas, lelah.

"Pengen jadi mobil aja deh. Kayaknya enak kalau jadi mobil, bisa jalan-jalan kemana aja tanpa mikirin biaya. Udah gitu, tinggal dinyalain pakai mesin, terus diarahin sama manusia,"

"Atau jadi lampu jalanan aja, kayaknya lebih enak. Diem di tempat, terus pas waktunya tinggal nyalain sama matiin lampu. Selain itu, bisa puas liat motor mobil yang lewat. Eh, tapikan kalau jadi lampu jalanan bisa kepanasan kalau siang dan kehujanan kalau hujan. Kalau gitu, aku mau jadi mobil ajadeh." Pikiranku mulai ramai dengan beragam pengandaian yang aku tau tidak akan mungkin terjadi.

"Sebenernya, apa yang kubisa sih? Rasanya semua yang aku lakuin nggak ada yang berhasil. Kenapa aku harus ada di dunia ini kalau aku nggak bisa ngapa-ngapain? Bahkan, cuman buat lomba menulis artikel yang selama ini aku bangga-banggain, aku nggak menang, masuk nominasi aja pun enggak." Ucapku lirih.

"Semuanya yang aku mau, nggak ada satupun yang berhasil aku dapetin. Selama ini aku salah, aku pikir, aku hebat di segala hal, tapi nyatanya, aku gagal di hal-hal yang kukira aku hebat." Aku mengusap air mata yang tiba-tiba turun, bisa bahaya kalau dilihat orang-orang yang sedang melintas.

"Kenapa orang-orang dapat apa yang mereka mau dengan mudah? Sedangkan aku, cuma mau berhasil di hal yang aku yakin bisa aja nggak pernah dapat."

Aku menundukkan kepala dan meletakkannya di pegangan besi jembatan, air mata masih belum berhenti mengalir di pipiku. "Capek, aku capek sama diriku sendiri yang masih diem di tempat, sedangkan mereka udah ada jauh di depanku."

Aku masih menundukkan kepala dengan besi jembatan sebagai sandarannya, saat bahuku ditepuk pelan oleh seseorang, yang tentunya membuatku menghentikan ratapannku. Sosok bapak petugas kebersihan terlihat oleh mataku saat aku berbalik badan. Buru-buru aku menghapus sisa air mata.

"Ada yang bisa dibantu pak?"

"Nggak mbak, saya nggak butuh bantuan, yang butuh bantuan sepertinya mbaknya. Saya liat dari tadi mbaknya melamun terus nangis, mana lama banget, 40 menit ada kayaknya." Aku berusaha tersenyum kecil menanggapi ucapan si bapak. Perkataannya membuatku malu, nggak kerasa kalau aku udah terlalu lama meratap di jembatan yang banyak orang lewat.

"Saya boleh bicara sedikit mbak?" Tanya si bapak.

"Boleh pak."

"Hidup itu memang susah mbak. Dulu, setiap harinya saya selalu mikir, besok makan pakai apa ya? Apalagi yang dibutuhkan anakku? Besok, masih bisa kerja disini nggak ya? Semuanya jadi ruwet di pikiran, takut kalau apa yang saya pikirkan menjadi kenyataan di keesokan harinya. Karena  ketakutan-ketakutan itu akhirnya saya mencari kerja sana sini, berusaha menambah pemasukan setiap hari, pergi pagi saat istri saya belum bangun dan pulang malam saat istri saya tertidur."

520Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang