Bisa berbincang dengannya adalah hal yang sangat aku syukuri. Jika bukan karena dia, mungkin aku akan tetap bersembunyi, karena aku terlalu takut untuk menghadapi kenyataan di depan sana.
Selama ini, aku selalu bertanya-tanya pada diriku sendiri.
Wh...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Aku sedang membaca kembali outline paper yang sudah kami susun sebelumnya. Well, lagi-lagi aku bersyukur bisa sekelompok dengan Nanda dan Seira, mereka kooperatif dan tidak membiarkanku mengerjakan semua tugas sendirian.
Seperti saat presentasi di mata kuliah Bu Hana tadi pagi. Kami semua bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dari anak kelas dan Bu Hana dengan lancar, karena kami membaca dan menyusun materi presentasi bersama, bahkan malam sebelumnya kami sempat berdiskusi mengenai materi yang akan kami sampaikan. Kalian tahu? Rasanya puas sekali bisa mendapat teman yang mau diajak bertukar pikiran seperti ini.
Selagi aku membaca ulang outline yang sudah hampir rampung ini, Nanda dan Seira sedang membolak-balik tumpukan buku di hadapan kami untuk mencari-cari mana yang cocok untuk dijadikan landasan konseptual materi kami. Sesekali, mereka akan mengetikkan sesuatu di laptop, memastikan apa yang mereka baca sesuai dengan topik kami.
Aku sendiri terkadang menyoret kalimat yang kurang jelas di outline kami. Menandainya jika aku kurang yakin atau memggantinya saat aku tahu pasti bahwa itu salah.
Beberapa saat kemudian, aku berniat merenggangkan otot leher, karena sedari tadi aku menunduk. Saat aku mengangkat muka, ternyata Nanda dan Seira sedang memperhatikanku. Tak lama, terdengar tepukan tangan dari mereka berdua.
"Prok ... prok ... prok ..."
"Sshtt!!!" Aku meletakkan telunjuk di depan bibir. Kepalaku menoleh ke kanan dan ke kiri. Beberapa pengunjung kafe menoleh ke arah kami setelah mendengar tepukan Nanda dan Seira, akupun membungkukkan badan, meminta maaf karena mengganggu ketenangan mereka.
"Kenapa kalian?"
Seira menggelengkan kepalanya, ekspresi wajahnya mengatakan bahwa ia kagum. "Betah banget yaa kamu, daritadi nunduk, bolak balik baca, ngetik, baca lagi, ngetik lagi, dan nggak berhenti sampai, berapa menit, Nan?" Ia menoleh ke arah Nanda.
"15 menitan ada kayaknya, apa 20 menit yaa, entah deh," jawab Nanda.
"Enggak juga kok, tadi aku juga sempet berhenti buat liat kalian," tampikku, Seira menatapku tidak percaya, sedang Nanda sudah kembali membuka-buka buku. "Beneran. Aku nggak semudah itu buat bisa fokus ke satu hal. Aku sempat space out juga, cuma aku alihin ke asal ngetik gitu," jelasku dan Seira mengangguk mendengarnya.
"Gimana? Udah berapa buku yang bisa dimasukin?" Aku meletakkan laptop yang sedari tadi ada di pangkuanku ke atas meja, lalu beranjak mendekati Nanda dan Seira.
Nanda menepuk tumpukan buku di depannya, "ini beberapa buku yang menurut kita bisa dijadiin landasan konsep kita. Masih harus disortir lagi karena itu ada lumayan banyak."
"Banyak justru lebih bagus bukan?"
"Iyaa, tapi nggak semua bisa kita masukin. Karena mungkin ada yang kurang relevan sama pembahasan kita, nah ini aku sama Seira baru mau mulai cek mana yang paling relevan."