14

140 18 2
                                    

Aku menyalakan ponsel yang kumatikan sejak selesai kelas. Jujur saja, ucapan Lia terngiang dengan jelas di kepalaku. Begitu juga kata-kata pembenaran atas ucapan Lia yang berlomba-lomba muncul di benakku yang pada akhirnya aku setujui. Aku termenung menatap notifikasi yang saling bergantian memenuhi ponselku.

Meena, kamu di mana?
Aku udah di Ekologi.
Kamu lagi istirahat yaa?
Kamu tenang aja, aku udah sama Nanda kok.
Met bobok Meenaa!!
Luv yaa!!

Seira, maaf. Maaf aku lupa janji kita. Maaf aku gak ngabarin kamu. Maaf karena kamu kenal aku. Aku terus-terusan mengucap kata maaf kepada Seira saat membaca pesan yang ia kirimkan, kata yang mungkin akan susah aku keluarkan jika berhadapan dengannya. Aku merasa bersalah karena membuat Seira mengenal sosok yang membingungkan seperti aku.

Na, coba lihat tempat ini deh.
Kayaknya oke buat nugas.
Kamu ada waktu akhir minggu ini?
Na
Naa
Kamu ke mana?
Kata Seira kamu ga bisa dihubungi.
Kamu sakit ya na?
Kalau udah bangun, balas chat aku ya na

Aku menghela nafas saat membaca pesan Kak Akandra. Sekali lagi, aku menyakinkan diriku bahwa apa yang dilakukan Kak Akandra hanyalah bentuk kepedulian kepada anggota kelompok. Bahwa apa yang ia lakukan saat ini wajar dan bukan hanya ia tunjukkan padaku saja. Selain itu, aku juga yakin Kak Akandra tidak akan melihatku lebih dari seorang adik tingkat yang membebaninya.

Perlahan, aku memandangi pantulan wajahku. Rambut berantakan. Kulit kusam. Mata bengkak. Tak lama, aku tertawa pelan. Pantas saja Lia tidak rela jika aku sering menghabiskan waktu bersama Kak Akandra.

Sebentar lagi. Aku hanya harus menyelesaikan jurnal ini dan kembali mengagumi Kak Akandra dari jauh. Aku tidak boleh egois menginginkan Kak Akandra, di saat ada banyak perempuan yang lebih pantas untuknya. Padahal Kak Akandra juga belum tentu suka aku.

“Kamu baik-baik aja?”
Aku menolehkan kepala ke sumber suara, sembari tersenyum aku menjawab pelan, “aku baik.”

“Ada yang mau kamu ceritain?” Tatapan Kak Akandra mengunci pandanganku, membuatku mau tak mau menatapnya. Aku memutar otak dengan cepat, berpikir apakah aku harus mengatakannya atau tidak. Tetapi, jika tidak saat ini, kapan lagi aku bisa mengutarakan keinginanku ini.

“Aku minta maaf.” Kak Akandra mengerutkan keningnya saat mendengar pernyataanku.

“Aku mau mundur dari pengerjaan jurnal. Nanti siang aku akan menghadap ke Pak Danan.”

“Kenapa?”

“Aku merasa masih belum mampu untuk melanjutkan penelitian itu.”

“Kamu yakin?”

Aku terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Semalam aku sudah memikirkan konsekuensi yang akan aku dapatkan saat memilih langkah ini. Tapi aku tidak tahu jika rasanya seberat ini, saat sadar bahwa dengan memilih langkah itu aku akan kembali menjadi seorang pengecut. Aku akan dilihat sebagai sosok yang tidak bertanggung jawab oleh Pak Danan, dosenku dan Kak Akandra, laki-laki yang aku kagumi.

“Aku ga tahu apa yang sedang terjadi sama kamu dan aku ga tau apa yang membuat kamu berpikir untuk mundur dari proyek ini, tapi aku harap kamu sudah memikirkannya matang-matang,” Kak Akandra tampak menjeda kalimatnya sebelum kemudian melanjutkan dengan pelan, “atau kamu akan menyesal.”

Ia menyunggingkan senyum tipis sembari mengalihkan pandangannya dariku.

Aku tertegun, ucapan terakhir Kak Akandra berputar di benakku.

Dia terlihat memahamiku. Memahami bahwa keinginanku saat ini hanyalah keputusan yang aku buat dalam waktu singkat, saat memikirkan bahwa penelitian ini tidak mungkin selesai dalam waktu dekat.

“Kalau kamu mau, gimana kalau kita sama-sama ambil jeda sejenak dari penelitian ini? Mungkin aku terlalu memaksa dalam pengerjaannya, yang akhirnya malah bikin kamu tertekan. Nanti aku coba ngobrol sama Pak Danan,” Kak Akandra memberikan saran yang membuatku merasa bersalah.

“Bukan gitu kak, aku ga merasa tertekan kok selama kita ngerjain penelitian bareng. Aku cuma, gitulah things happened,” ucapku menyangkal perkataan Kak Akandra. “Aku hanya  tidak ingin terbayang-bayang dengan ucapan Lia selama berada di sekitar Kak Akandra,” lanjutku dalam hati.

“Jadi, kita istirahat dulu ya? Deal?” Ia mengulurkan tangannya sambil tersenyum lebar.

Sial aku terjebak.

Tapi saran dari Kak Akandra boleh juga. Rehat dari pengerjaan penelitian selama beberapa waktu akan membuat kami jarang bertemu. Mungkin, dengan begitu aku bisa mengembalikan kewarasanku dan membuat batas yang jelas di antara kami.

Setelah membiarkan tangannya mengambang di udara sedikit lama, akhirnya aku menyodorkan tanganku yang langsung digenggamnya erat. Wajahnya terlihat sumringah saat menggenggam tanganku, bahkan ia juga menggoyangkan tangan kami pelan ke kanan-kiri atas-bawah. Hingga ia berkata, “Solo yuk! Kapan lagi kita bisa istirahat dari penelitian memusingkan itu.”

“Hah…” sontak aku mengerutkan dahi sembari memandangi Kak Akandra bingung. Sedang sosok yang aku pandangi justru mengulas senyum lebar.

Deal ya?” Ucapnya sambil menggerakkan tangan kami yang masih tertaut ke atas dan bawah.

Aku hanya bisa mengangguk dan tersenyum samar sembari berpikir, “kok jadi gini? kalau gini sama aja kayak ngerjain penelitian bareng ga sih?”

Hallo!!
Apa kabar?? Masih ada yang inget cerita ini ga ya??
Akhirnya aku berani update lagi setelah 2 tahun(?)
Mungkin tulisanku sekarang dan sebelumnya akan terasa berbeda, karena 2 tahun itu lama yaa, yang mana bikin pengalaman dan cara menulisku berkembang (semoga).

Katanya cerita yang bagus adalah cerita yang selesai. Jadi, aku akan berusaha menyelesaikan cerita ini sembari brainstorming untuk cerita lainnya.

Terima kasih buat yang sudah memasukkan cerita ini ke library, sudah baca sampai sini, dan sudah komen juga🫶✨️

Salah satu alasan aku melanjutkan cerita ini, karena komentar-komentar yang meminta untuk melanjutkan cerita jaemselle ini. Terima kasih karena kalian aku jadi menulis lagi🫶🧚‍♀️✨️

See you on the next chapter~

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 30 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

520Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang