25. I Just Want You

2.4K 313 116
                                    

Sudah hampir dua minggu mereka menjalankan misi sebagai tim sukses draco dan Hermione. Namun tidak ada perkembangan sama sekali. Tidak ada buku yang menjelaskan mengenai sihir kutukan keluarga Malfoy ataupun leluhur-leluhurnya. Sudah banyak orang yang ditanya dan di sogok, namun tetap tidak ada yang bisa memberikan informasi yang berguna.

Harry dan Ron tertunduk seraya menatap rerumputan, Blaise dan Theo menghela napas berkali-kali seraya menatap gumpalan awan, sedangkan Draco dan Hermione saling bersandar dengan kedua tangan terpaut.

"Jadi bagaimana rencana selanjutnya?" tanya Blaise, lelah.

"Aku kehabisan ide." jawab Hermione.

"Ini mustahil. Setiap penyakit pasti ada obatnya. Begitu juga mantra kutukan itu kan? Pasti ada sihir pematahnya!" Seru Theo menggebu.

"Hanya ada satu jawabannya." ujar Ron dengan suara mengambang. Semua mata langsung mengarah ke arahnya. "Yaitu.. kalian tidak berjodoh."

"Tidak bisa! Aku dan Hermione harus selalu bersama. Aku yakin semua apa yang terjadi ini sudah dituliskan. Aku dan Hermione itu sudah ditakdirkan bersama!"

"Iya, ditakdirkan bersama hanya sebagai teman." jawab Ron dengan santainya yang membuat telinga Draco memerah.

"Atau begini saja. Katanya kan kau akan mati kalau mengucapkan janji suci bersama Muggleborn, kalau begitu kalian tidak usah menikah. Sekarang kan zamannya punya anak tanpa menikah." Seloroh Blaise yang langsung kena geplakan Harry.

"Kau ini baiknya berpikir sebelum bicara, Zabini."

"Loh, aku benar kan? Tidak ada cara lain bukan? Realistis saja, lah. Kalian ingin bersama tapi tidak bisa menikah? Yasudah kumpul kebo saja."

"Mulutmu benar-benar tidak disekolahkan, Blaise." Sahut Theo. "Tapi aku setuju, sih hehe."

"Kedua temanmu tidak datang saat pembagian otak ya, Malfoy?" Sindir Ron dengan mata menyuring menatap kedua slytherin bodoh itu.

"Hey, jangan asal bicara Weasley! Kami itu hanya berpikir realistis! Kalau ada yang mudah, kenapa harus cari yang susah?"

Hermione menghela napas lelah mendengar semua perdebatan ini. Ia juga lelah dan putus asa. Namun sebagian dari dirinya menolak menyerah. Ia akan lakukan apapun demi sihir itu bisa dipatahkan.

"Tapi bagaimana kalau Malfoy malah dijodohkan demi mendapatkan keturunan yang sah? Aku tidak akan ikhlas kalau Hermione menjadi simpanan." Sahut Harry.

"Aku lebih baik mati, Potter. Aku tidak akan menikah selain dengan Hermione."

"Tapi keluargamu pasti tidak akan tinggal diam. Kau itu anak satu-satunya. Hanya kau yang dapat memberikan keturunan Malfoy."

Semuanya terdiam. Hanyut dalam pikiran masing-masing. Tugas sekolah saja tidak kelar, ini ditambah permasalahan Draco dan Hermione yang tidak juga menemukan titik temu. Hubungan mereka terlalu rumit. Banyak sekali rintangan yang menghadang.

"Bagaimana kalau kita tanya saja pada ibumu, Draco? Aku rasa dia masih punya hati dibanding ayahmu." Ujar Blaise.

"Tapi apa ibu Malfoy mau memberi tahu? Kurasa dia juga tidak setuju dengan hubungan mereka." Jawab Ron.

"Kita tidak akan tahu sebelum mencoba 'kan?" Theo menatap semuanya bergantian dengan semangat

"Tapi bagaimana kalau mereka semakin menjauhkan aku dan Draco kalau mereka tahu kita berusaha sebegininya?" Hermione berujar sedih.

"Ah, tak tahu lagi lah aku! Kalian yang punya hubungan, aku yang pusing!"

...

Draco dan Hermione berdiri dalam hening di atas menara astronomi. Memandang matahari yang perlahan mulai turun dari singgasananya. Angin senja membelai wajah masing-masing dengan lembut. Mengibarkan rambut keduanya dan menyalurkan rasa nyaman.

Tangan mereka terpaut. Saling genggam untuk menyalurkan rasa hangat. Draco mengusap-usap tangan mungil Hermione. Terus menerus selama beberapa menit.

"Draco, ini sulit kan?" Ujar Hermione, pelan. Hampir seperti bisikan.

Draco memejamkan matanya seraya semakin menggenggam tangan Hermione, erat.

"Kita sudah melakukan banyak cara untuk terus bersama. Tapi tidak ada yang berhasil. Bagaimana.. bagaimana kalau perkataan Ron benar? Kalau kita tidak berjodoh?" Gadis itu menunduk.

Draco menghela napas panjang, "Kau ingin menyerah begitu?" Sahutnya dengan suara yang terdengar tajam. Ia tidak menatap Hermione. Matanya menatap tajam ke arah langit yang mulai menggelap.

Hermione menoleh dan mendongak untuk melihat wajah Draco, "Aku.. aku-"

"Segitu saja usahamu?" Draco kini menoleh dan menatap dalam Hermione. Namun tetap tidak melepaskan tautan tangan mereka.

"Draco, kita sudah berusaha-"

"Kalau belum berhasil berarti usaha kita belum cukup!"

"Mau sampai kapan?! Kita juga harus tahu kapan waktunya berhenti, Draco!"

"Dan kaumau berhenti?! Kau mau kita berpisah lagi? Begitu?!"

Hermione diam sejenak, "Kau tahu apa yang aku takutkan sekarang?" mata gadis itu berlinang, "Aku takut kau mati! Aku takut sesuatu terjadi padamu kalau kita terus bersama!" Kini Hermione menunduk. Menyembunyikan air matanya. "Aku sangat mencintaimu. Cintaku bahkan sudah sampai dititik dimana aku ikhlas kehilanganmu asalkan kau bisa bahagia walaupun bersama orang lain. Asal kau tetap hidup."

Draco berdebar. Ia takut sekaligus merasa hangat dihatinya ketika mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Hermione. Laki-laki itu memegang bahu gadis itu dan membuat mereka kini saling berhadapan.

"Tapi yang perlu kau tahu, Hermione. Aku tidak akan bahagia jika tidak bersamamu."

Hermione mendongak dan menatap dalam mata kelabu itu dengan linangan air mata. Hanya dari tatapan mata itu, Draco tahu kalau Hermione memang sangat mencintainya. Rasanya bahkan Ia kewalahan menerima itu semua. Apa Ia pantas mendapatkan cinta itu setelah apa yang Ia lakukan selama ini? Bahkan setelah mereka bersama pun, hanya kesulitan yang Draco berikan untuk Hermione.

"Draco, terkadang kita memang tidak bisa mendapatkan apa yang kita inginkan."

Satu tetes air mata terjatuh dari mata kelabu yang memancarkan kesedihan itu. Hermione menyekanya lembut, "Seberapa keras pun kita berusaha, kalau memang kita tidak ditakdirkan bersama, maka akan ada saja cara kita untuk terpisah. Begitu juga sebaliknya."

Draco menggeleng membuat buliran air mata kembali berjatuhan. Ia menggenggam tangan Hermione dengan kedua tangannya dan menyatukan tangan itu pada dahinya, "Aku tidak mengharapkan banyak hal. Aku hanya menginginkan dirimu. Itu saja."

"Draco.. aku juga menginginkan dirimu. Tapi aku tidak bisa-"

"Hermione." Draco membuka mata dan menurunkan tangan gadis itu dari dahinya, "Apa menurutmu kita bisa bersama di kehidupan selanjutnya?"

Hermione mengernyit, "Apa maksudmu?"

Draco hanya diam menatap gadis itu. Hermione berpikir selama beberapa detik. Setelah menemukan jawabannya, Ia langsung melepaskan tangan Draco dan menggeleng kukuh seraya mundur menjauh.

Laki-laki itu mendekat, "Aku putus asa, Hermione."

"Tapi tidak begini caranya, Draco!"

"Lalu bagaimana?!"

Hermione terdiam. Ia mendekat lalu menangkup pipi Draco dengan lembut. Ia tahu kalau kekasihnya itu sedang kalut.

"Draco aku tahu kau sedang lelah. Aku juga. Tapi itu bukan pilihan yang tepat."

Draco meraih tangan Hermione, "Lalu apa pilihan yang tepat? Aku hanya ingin bersamamu."

Ia meraih kedua tangan Hermione dan menggenggamnya.

"Hermione, bagaimana kalau kita mati bersama saja?"

[To be Continued]

Duh, anaknya pak ucius emng gak pernah bener pikirannya. Heran saya, hufftt

Young Parents [Dramione]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang