11. Penolakan

8 5 0
                                    

sepulang sekolah, Sia dan teman temannya keluar dengan kerutan yang ada di wajah masing masing. mereka terkejut karena Elang dan teman temannya berada di depan gerbang menunggu seseorang di motornya masing masing.

"Jarang banget nggak sih? biasanya Elang langsung pulang tuh," ucap Alisya bingung.

"Kira-kira mereka nungguin siapa?" tanya Alisya sambil menatap sekelilingnya.

"Yang pasti bukan hantu," jawab Kaila asal.

Sia menghela napas panjang. "Em, udah sore nih. aku pulang dulu ya, takut nggak kebagian angkutan." ia melambaikan tangannya pada teman temannya sambil berjalan menjauhi mereka.

"Bye, see you. hati-hati ya." seperti itulah ucapan yang dilontarkan pada Sia.

Saat Sia ingin melewati Elang, tangannya dicekal oleh sang empu membuatnya menatap bingung Elang.

"Gue anterin," ucap Elang datar.

Sia melepaskan tangan Elang dari tangannya sambil menatap Elang aneh. "Nggak usah, makasih." Ia melangkah melewati Elang menuju halte lalu memberhentikan sebuah angkutan yang mungkin terakhir melewati jalan itu.

Sia duduk di pojokan sambil menopang dagunya menatap jalanan dari kaca belakang. ia mengerutkan keningnya saat menyadari beberapa motor yang ia kenal tengah mengikuti angkutannya.

"Pak, ini kita diikutin ya?" tanya Sia was was.

"Oh, mungkin emang lagi kebetulan aja, Mbak. tenang aja, jangan takut." Sia mengangguk lalu menatap lima motor yang masih mengikutinya dengan perasaan bingung dan takut.

"Turun di mana, Mbak?"

"Di depan pagar Abu-abu, Pak." Sia adalah penumpang terakhir di angkutan ini jadi sudah biasa jika langsung ditanyakan tujuannya ke mana.

Sia turun dan membayar angkutannya saat sudah sampai di depan rumahnya. ia melihat lima motor yang mengikutinya juga berhenti di depannya sambil membuka helm masing-masing.

"Ooh jadi kalian, kirain tadi begal," ucap Sia sambil menunjuk kelimanya dengan nada tak suka.

"Mana ada begal seganteng gue, Sia. samain yang berkelas dikit dong, kaya mafia gitu misalnya," ucap Barra sambil menaik turunkan alisnya setelah menyugar rambutnya ke belakang.

Elang memutar bola matanya malas lalu menatap Sia datar. "Mulai besok lo berangkat dan pulang bareng gue."

Sia menyilangkan tangannya di depan dada dan menatap laki laki di hadapannya datar. "Sorry. nggak tertarik."

setelah mengucapkan itu, Sia langsung masuk ke area rumahnya tanpa mempersilahkan lima laki-laki di sana masuk ke dalam.

"Astaghfirullah, kita niatnya ke sini bertamu apa berhantu sih? kok nggak diajak masuk?" Atek memegang dadanya dramatis.

"Boro boro diajak masuk, diajak ngomong sama lo  aja Sia pasti nggak mau," ucap Barra menimpali ucapan Atek.

Elang yang masih setia memandangi pintu rumah gadis itu yang tertutup pun akhirnya membuka suara. "Cabut."

sementara itu Sia yang masih memandangi lima laki laki dari kamarnya yang ada di lantai 2 pun merasa lega saat mereka mulai meninggalkan area rumahnya.

"Tadi siapa, Sia? kayaknya tadi di depan ada banyak motor, temen kamu?" Sia menggeleng cepat menjawab pertanyaan Bundanya.

Mayra, itulah nama Bundanya. "Bukan siapa siapa, Bun. cuma.orang iseng," ucap Sia sambil menampilkan kerutan di pangkal hidungnya.

"Tapi tadi Bunda intip salah satu dari mereka lagi ngobrol sama kamu, tuh. yakin cuma orang iseng?" tanya Mayra. Sia memalingkan wajahnya dengan jantungnya yang berdetak cepat.

"Y--ya itu--em .... mereka tanya jalan, Bun." Mayra mengangguk mengerti lalu pergi dari kamarnya.

Sia menghela napas lega lalu menutup pintu kamarnya. harusnya tadi ia menutup pintu terlebih dahulu agar tidak dimasuki oleh Bundanya dan tidak sampai ditanya tanyai seperti tadi.

***

Keesokan paginya, Sia bangun lebih awal. pagi ini ada pemberitahuan khusus di Aula untuk kelas XI dan XII. entah pemberitahuan tentang apa, ia pun tak tau.

gadis dengan rambut kuncir kuda itu berjalan di koridor sekolah yang ramai siswa. di depannya terdapat lima siswa laki laki yang berjalan ke arahnya dengan gaya cool dan sok tebar pesonanya.

Sia memasang wajah datar saat Elang menghadang jalannya untuk ke kelas. "Bawain tas gue," ucap Elang sambil menurunkan tasnya ke lantai.

Sia hanya menatap datar tas itu lalu menatap Elang tajam. "Punya tangan, kan? bawa sendiri."

setelah mengucapkan itu sia sengaja menubruk bahu Elang sambil melewatinya dan teman temannya yang melongo terkejut dengan jawaban Sia.

Elang melirik kepergian Sia lalu tersenyum miring. tangannya terulur untuk mengambil kembali tasnya di lantai lalu melanjutkan jalannya sambil memasukkan salah satu tangannya ke dalam saku celana.

"WUIS Keren banget sih, Sia! gila, gue kudu berguru sama dia sih ini. pasti, lah. ayo, Bar. kita jadi murid sensei Sia." Atek menepuk nepuk pundak Barra sambil menjentikkan jarinya beberapa kali.

"Lo mau ngebantah Elang juga?" Atek menaik turunkan alisnya seakan ada maksud pribadi di dalam otaknya.

"Gue mau nulis sejarah, selama ini gak ada yang berani sama Elang. tapi sekarang? baru muncul sosok yang akan mengubah sejarah kita di masa depan."

"Gaya lo, noh cewek!" Barra menolehkan kepala Atek ke arah siswi yang berseragam ketat dengan rambutnya tergerai indah membuat Atek membuka mulutnya karena takjub hingga ia menabrak pilar di sekolahnya membuatnya sadar sambil mengelus pipinya yang mencium pilar dengan keras.

Barra dan yang lainnya menertawakan Atek dari jauh sambil menggeleng lalu menghampiri Atek yang masih mengelus pipinya sambil menatap ke arah siswi itu.

Barra merangkul Atek yang tingginya hanya seleher hingga Atek tidak bisa lagi melihat Siswi itu. "Ciah, kalo masalah cewe aduhay aja sampe nabrak pilar pun lo gak marah coba kalo masalah lain. bisa kesurupan lo," cibir Barra.

"Masa depan, bro!"

"Belajar yang pinter biar masa depan lo cerah," ucap Cakra sambil menyerahkan buku kumpulan soal matematika hingga menimpa dada Atek.

cowok itu pun dengan terpaksa menerimanya. "Dari banyaknya pelajaran kenapa harus matematika yang lo kasih ke gue?" tanya Atek sambil membuka cepat lembar buku tersebut yang hanya ada angka saja membuatnya pusing.

"Matematika itu penting buat masa depan!" Barra menepuk pundak Atek setuju dengan ucapan Cakra.

"Pikiran lo jangan tentang cewe mulu, pelajaran juga penting." Barra memijat pelipis Atek pelan membuat sang empunya keenakan.

"Halah, kaya lo lebih baik dari gue aja," ucap Atek sambil memukul dada Barra dengan buku yang ia pegang.

Cakra menatap tajam Atek. "Inget! gue pinjemin buku itu buat belajar bukan buat mukul orang. kalo sampe rusak, hilang, lecet, sobek .... lo bakal gue cincang hidup hidup!" ancaman Cakra bisa membuat Atek dan Barra merinding seketika.

"Posesive lo sama buku kaya gini! kalo rusak ya tinggal beli lagi lah, lo kan banyak duit." Cakra memutar bola matanya malas.

Barra membungkam mulut Atek dengan tamgannya melihat Cakra yang akan menyemprot Atek habis habisan. "Udah nggak usah didengerin, Cak. anggep aja suara tikus keinjek gajah."

***
Bersambung

ElangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang