Bagian 2

30 7 0
                                    


***

Untuk menjadi dewasa seorang setidaknya pernah melewati satu kali masa suram yang paling suram. Atau mungkin sekali saja jatuh untuk kemudian merasakan sakit. Katanya menjadi dewasa bukan hanya sekedar tiup lilin untuk menambah angka kehidupan. Melainkan lebih dari itu.

Raina sedang duduk di depan Indomaret seorang diri. Melihat lalu-lalang kendaraan yang lewat atau silih berganti masuk ke halaman parkir Indomaret. Tak ada kegiatan yang Raina lakukan selain duduk berteman sebotol Pocari Swet berteman wafer tanggo rasa vanila.

Jadi dewasa itu susah. Lalu kenapa banyak orang yang bertahan dalam keadaan dewasa. Raina lelah, dia muak menjadi dewasa karena rasanya sia-sia.

Pagi ini kedua orang tuanya kembali bertengkar. Pasal siapa yang lebih memperhatikan Raina selama ini. Raina kadang bingung, kenapa orang tuanya seperti itu. Padahal menurutnya, tak ada satupun diantara mereka yang betulan perhatian dengan Raina. Semua itu omong kosong.

"Rai, sorry." ujar seorang yang datang tiba-tiba. Kemudian duduk dan menatap Raina dengan tatap sendu. Iya, Raina tahu. Dirinya sangat tak layak disebut hidup dengan penampilannya saat ini.

"Gue ngantuk, Ka. Numpang tidur di kos lo, dong."

"Kenapa nggak pulang aja?"

"Udah. Tapi gue nggak disambut."

"Rai?"

"Jangan tanya dulu. Gue cuma mau tidur."

Namanya Rajendra Ajisaka. Raina biasa memanggil lelaki itu dengan Saka. Saka adalah sepupu jauh Raina. Ada sebuah kejadian yang memaksa Raina harus bercerita banyak hal pada Saka. Jadi dalam keadaan ini satu orang yang paling mengerti Raina hanya Saka. Yah, sejauh ini.

Motor Saka melaju lambat diantara padat jalanan pagi ini. Hari minggu yang panas. Namun kenapa banyak orang rela keluar rumah hanya untuk panas panasan. Ah, atau mereka sama dengan Raina. Menganggap rumah lebih panas dari menginjak jalan beraspal di siang pukul 12 tanpa alas kaki. Betul. Sakit karena terbakar.

Bersama erat peluk Raina rasanya kantuk itu semakin menjadi.

"Saka, beli bubur ayam dulu, yok. Gue laper." dan beberapa menit setelahnya motor itu berbelok pada sebuah kedai bubur ayam.

Dua mangkok tersaji hangat di depan mereka dan tanpa basa basi Raina menyantapnya.

"Rai. Kok nggak di aduk dulu?"

"Lebih enak nggak diaduk, Ka."

"Psikopat, lo? Mana enak makan bubur ayam nggak diaduk dulu?"

Raina yang jengkel akhirnya menjejalkan dua krupuk sekaligus ke mulut Saka. "Biarin, sih. Suka suka gue. Gitu aja di ributin."

Pertengkaran kecil itu memancing tawa dari bapak bapak yang jual bubur.

"Lo udah ketemu Lia?" tanya Saka tiba-tiba. Raina yang masih mengunyah kerupuk tiba tiba terdiam. "Gue khawatir."

"Khawatir sama Lia atau khawatir sama Arjuna?"

"Dua duanya."

Bohong banget. Raina tau Saka hanya khawatir soal Lia.

"Dia nggak akan kenapa-napa. Juna sama Lia sering berantem kayak gitu. Lo lihat beberapa hari yang akan datang, mereka berdua pasti udah jalan bareng lagi."

Itu kehebatan hubungan Lia dan Arjuna. Raina juga kadang heran. Arjuna bisa datang ke Raina dengan tubuh lemas, dramatis banget lantas cerita jika dia sedang gonjang ganjing dengan Lia. Namum besoknya biasanya Juna akan dengan terang terangan menggandeng Lia di depan Raina. Seolah melupakan apa yang sudah terjadi.

"Kayaknya yang kali ini bakal kenapa-napa."

Loh, sejak kapan Saka juga bisa berubah dramatis. Efek berteman lama dengan Ecan dan Arjuna?

"Kemaren dia nangis di kos Ecan. Katanya udah nggak betah pacaran lama sama Arjuna. Emang Juna nggak telfon lo, gitu?"

Raina menggeleng. Tidak. Atau mungkin belum. Raina tak mau berpikir lebih jauh. Itu hubungan mereka, jadi kenapa Raina harus repot-repot berpikir.

***

"Kak, informasi aja. Jam segini mana ada jual sop duren. Agak siang nanti." ujar Aji tiba tiba. Arjuna hanya melengos. Lagipula bukan sop duren yang dia mau. Dia hanya ingin jalan-jalan namun enggan sendirian. Tadi dia telfon Raina, tapi sepertinya cewek itu sedang sibuk. Nomornya tidak bisa dihubungi.

Arjuna justru membelokkan motor pada sebuah warung kopi. Warung kopi yang hampir tiap hari Arjuna kunjungi bersama kawan-kawannya.

"Jauh banget dari sop duren ke warung kopi. Kalo cuma buat makan mendoan di depan komplek juga ada, kak."

"Kamu mau makan apa? Kakak yang bayar." ucap Arjuna sambil melenggang masuk ke warung kopi. Aji mungkin kesal, namun Arjuna tetap melenggang. Bodo amat. Nanti juga dia diam jika sudah dibelikan kebab.

"Woi, bro." sapa Arjuna pada beberapa orang di dalam.

"Weh, Juna. Apa kabar? Sehat, lo? Lama banget nggak kesini." balas pemilik warung. Namanya Bang Tegar. Cowok usia 20-an yang terjebak di tubuh bapak-bapak.

Bukan, dia bukan tua. Bang Tegar cuma kuno. Mana ada anak seusia bang Tegar yang lebih milih mengelola warkop. Bukannya lebih baik di perbesar sedikit kemudian diberi nama kafe. Namun setiap Arjuna atau anak-anak lain memberi usul, bang Tegar selalu bilang, kafe mana yang isinya combro sama mendoan. Dan jika sudah begitu, anak anak hanya akan manggut-manggut. Atau mengalihkan pembicaraan lain agar Bang Tegar tidak membicarakan asal usul terbentuknya warkop ini.

"Dia sibuk kuliah. Anak kuliahan dia." ucap anak lain.

"Bisa kuliah, lo? Berapa nilai lo, sih? Gue yang bagus aja nggak bisa kuliah."

"Lo bukan nggak bisa, tapi nggak mau." ujar anak lain. Arjuna hanya mesem.

"Gue lulus modal nekat, bang. Jurusan aja asal pilih, yang penting kuliah." jawab Juna pada akhirnya. Anak itu nyomot satu tahu isi lantas mengambil cabe dan menggigitnya. "Kopi item dua, bang."

"Tumben pesen dua. Dateng sama siapa?"

"Adik gue," ucap Arjuna setelah susah payah menelan tahu isi. "Namanya Aji."

"Oh, adekmu yang kembar itu?"

Arjuna mengangguk. Dan itu cukup membuat Aji kebingungan. Wajahnya lucu. Karena Arjuna tahu, Aji tak mudah bergaul dengan sembarang orang. Aji itu anaknya pemalu. Eits, malunya cuma kalo belum kenal, kalo udah kenal dan akrab, ya mungkin sebelas dua belas sama Lucita Luna alias malu-maluin.

"Kak, ngapain ngajak Aji kesini, sih," bisik Aji pelan. Juna bisa mendengarnya walaupun lebih banyak desah menggelikan di telinganya.

"Nunggu siangan sampe warung sop durennya buka." Arjuna juga membalas dengan bisik.

Mari bercerita sedikit tentang warkop yang sedang Juna duduki hari ini. Warung kopi sederhana yang Arjuna tahu kala bolos sekolah jaman SMA. Dulu Arjuna anaknya emang bandel. Sering bolos cuma buat nongkrong di warung kopi berteman mendoan dan kopi. Bersama teman temannya. Arjuna tidak merokok seperti yang lain. Dulu Juna pernah coba-coba menghirup batangan nikotin itu namun baru satu hisapan Arjuna sudah terbatuk. Pahitnya seolah tidak cocok dengan selera Arjuna maka hingga sekarang Juna tak bisa merokok.

Alkohol? Warkop ini tidak menjual alkohol dan Bang Tegar tegas melarang ada alkohol di warkopnya. Alasannya sederhana, bang Tegar tidak mau kehilangan mangkok, piring dan gelas jika mereka mabuk. Tapi bukan berarti Arjuna tak pernah meneguk minuman itu. Arjuna sering, ketika stres sudah menguasai otak dan jiwanya rasanya alkohol adalah satu-satunya hal yang bisa meredakan semua stres Arjuna. Tentu saja tanpa sepengetahuan Bang Banyu dan Mas Abim.

"Jun, Rio sama dua orang temennya bakal bebas hari ini," ucap salah seorang. Arjuna yang sedang nyeruput kopi hitamnya terhenti sejenak kemudian menarik senyum. Kisahnya baru dimulai.

***

Arjuna | Hwang HyunjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang