***
Hujan sudah berhenti sejak tadi namun rasanya masih banyak air yang menetes dari langit. Entah itu secara kasat mata atau hanya lamunan Aji saja. Tetap hawa suram menguasai langit malam ini.
Zahra Sulistyaningrum dinyatakan meninggal pukul 10.13 menit. Masih ditanggal dan suasana yang sama. Disaksikan kakak perempuan Zahra, Setiaji, Bang Jeno dan Aji sendiri. Gadis itu terpejam meski tangis dari kakak perempuannya menggema hebat. Seolah ia tak terganggu dan tetap terlelap dengan tenang. Pucat wajah Zahra membiru, berbeda dengan sosok Zahra yang menghilang beberapa saat lalu. Bibir itu tak tersenyum dan tangan itu, Aji enggan menyentuhnya. Karena pada akhirnya meski ia genggam erat sebuah balasan tak akan Aji dapat.
Aji tak menangis sama sekali. Bukan karena dia tak sedih akan kepergian itu, namun karena dia tau Zahra benci melihatnya menangis.
"Aji, Setiaji. Buruan sini!" teriak Zahra hari itu terngiang lagi. Teriak yang hadir di jam pelajaran olahraga. Keduanya memilih skip kelas dan menyelinap ke ruang musik yang kosong.
Aji dan Setiaji berlari saat keadaan sudah terbilang cukup aman. Senyum Zahra mengembang hebat, bersama decak kesal Setiaji yang tidak terima jika mereka harus bolos kelas.
Zahra mendekat pada sebuah piano klasik yang terbuka lantas memanggil Setiaji untuk mendekat. Jemari lentik gadis itu bermain sangat anggun. Berteman jemari besar Setiaji yang tak kalah lincah.
Denting itu sangat lembut hingga tanpa sadar air mata Aji menetes perlahan.
"Lo nangis, Ji?" tanya Setiaji mendapat gelengan dari Aji. Kemudian Zahra ikut memperhatikan.
"Anak cowok nggak boleh nangis. Eh, tapi nggak apa-apa, sih, nangis. Asal nggak deket gue, soalnya gue benci sama orang yang nangis."
"Kenapa?" Setiaji bertanya sedangkan Aji lebih asik menyimak.
"Gue udah lihat banyak tangis selama hidup. Kakak gue pernah nangis karena putus sama pacarnya. Mama gue pernah nangis pas nenek gue meninggal. Selama ini, kesan tangis yang gue terima selalu bikin sakit. Jadi kalian berdua dilarang keras nangis di sekitar gue."
"Meski dalam kasus tersedih sekalipun?" tanya Setiaji lagi. "Misal diantara kita pergi, kita nggak boleh nangis?"
Kata pergi yang Setiaji lontarkan kala itu bukan soal kematian. Sungguh.
"Iya, karena gue juga bakal nangis kalo liat kalian nangis. Kalian berdua tau, hati gue lembut banget kayak gula kapas."
"Halah, peres." Setiaji berdecak. Dan itu memancing tawa.
Pergi yang Setiaji maksud kala itu menjadi nyata. Bukan pergi ke sebuah tempat yang mudah terjangkau namun lebih jauh lagi.
Dan dengan kepergian itu, Aji dan Setiaji masih enggan menangis. Pantang bagi keduanya menangis karena mereka tak mau Zahra ikut menangis di alam sana.
Setiaji mendekat. Untuk mengusap pundak Aji dengan sangat lembut. Cowok itu sudah terlihat kacau dengan beberapa tetes air di dahinya juga beberapa darah yang mengotori seragam sekolahnya.
"Dia pergi, Ji." adalah kalimat Setiaji kala keduanya berjalan keluar menyusuri lorong. "Pergi yang nggak pernah gue maksud dulu."
Aji menunduk. Matanya perih namun air mata enggan mengalir karena sebuah janji.
"Lo nangis?" tanya Aji.
"Gue pengen nangis. Tapi gue takut Zahra lihat dan ikutan nangis. Gue nggak bisa liat dia nangis."
Sama, Ji. Aji juga tak bisa menangis karena janji itu. Karena sebelumnya dia sudah melepas Zahra. Beberapa menit sebelum dokter menyatakan kematian Zahra.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arjuna | Hwang Hyunjin
FanfictionPotongan Cerita : "Saka!" teriak Ecan yang hanya di anggap gonggong liar seekor anjing oleh Saka. "Woy, Saka. Monyet!!" "Apaa, sih. Anjing. Santai, bego." "Astagfirullah, Saka. Mulut kamu berdosa sekali." Ecan dramatis banget sembari menutup mulu...