Bagian 10

14 2 0
                                    

***

Mama Juna sudah menyambut dengan celemek coklat di badannya. Tanpa ragu cewek berkaos biru itu melepas tas ransel kecilnya dan melenggang untuk menyapa Mama Juna.

"Mama," ucap Raina sambil memeluk Mama Juna dari belakang.

"Udah dateng?"

"Udah dari tadi, tapi berhenti di Indimaret dulu makan jajan," jawab Raina.

"Eh, tadi langsung kesini aja. Mama, kan, masak banyak. Bikin camilan juga."

"Beli keripik tempe buat Ali." Raina berkata ringan. Tidak, sebetulnya bukan untuk alasan itu Raina mampir ke Indimaret. Hanya ingin duduk menikmati lalu-lalang jalanan yang ramai.

Semalam Raina bertengkar hebat dengan Mamanya. Pasal Raina yang sudah lelah dengan sikap menyebalkan kedua orang tuanya. Raina tahu sejak lama bahwa Mamanya main belakang. Membawa pulang laki-laki lain setiap kali Papa sedang dinas keluar kota. Dan kemarin malam, lagi lagi Mama membawa laki-laki yang berumur setengah abad. Raina muak dengan kebohongan Mamanya, hingga pada akhirnya ia berani menegur. Namun apa? Mama Raina justru marah, seolah tersinggung dengan sebuah kejujuran.

"Raina, jangan ngurusin hidup Mama. Tugas kamu cuma belajar, lulus, cari kerja. Udah. Jangan dipersulit."

Seandainya hidup semudah itu. Tanpa ada kata bahagia atau kalimat kesedihan dan kecewa.

"Raina nggak pernah peduli sama kehidupan Mama. Jadi jangan mikir Raina ngurusin. Raina cuma capek. Kalo Mama udah nggak suka sama Papa, yaudah, pisah aja. Mama nikah sama bangkotan yang sering Mama bawa pulang itu."

Berakhirnya kalimat itu adalah awal dari sebuah tamparan keras. Pipi Raina terbakar hingga air matanya tanpa sadar menetes.

"Mama nggak pisah sama Papa kamu itu buat kebaikan kamu!" kalimat Mama penuh penekanan. Meski Raina tau kalimat itu tak sungguh-sungguh terlontar. Karena dari mata Mamanya Raina bisa tau bahwa uang adalah alasan dibalik semuanya.

"Salah, dengan gini justru Mama nyakitin hidup Raina!" teriak Raina. Ia muak. Rasanya kalimat Mama terlalu kejam untuk diucap.

Tamparan kedua dantang lebih keras. Karena sepertinya Mama mengumpulkan seluruh amarahnya di tangan itu.

"Kamu tau apa soal hidup!?" kalimat tanya yang terdengar seperti makian.

Raina tak tau apa itu hidup. Sejauh apa Raina mencari ia tak akan pernah tau apa itu hidup.

Karena ketidaktahuan itu membuat Raina senang duduk lama di depan minimarket. Menatap banyak kehidupan di depannya. Tukang parkir yang dengan begitu rajin bekerja dibawah terik bersama kardusnya untuk menutup jok motor. Lalung-lalang tukan ojek online yang bekerja tak kenal lelah. Anak kecil yang berjalan tanpa alas kaki sembari membawa dagangannya. Atau bapak-bapak yang dengan setia menunggu dagangannya laku di sisi jalan lain. Kehidupan itu seperti apa? Raina tak pernah mengerti. Apakah seperti perbandingan mencolok yang selalu ia saksikan setiap hari? Ataukah seperti dua anak berseragam sekolah yang ngobrol diatas motor sambil tertawa.

Raina ingin tahu apa itu hidup. Agar suatu saat ketika Mamanya menyebut hal itu lagi Raina bisa menjawab dengan lantang.

"Raina, kamu tahu bumbu ikan kuah kuning?" pertanyaan Mama Arjuna menyadarkan Raina dari lamunannya. Memaksa otaknya kembali pada keadaan sekarang alih-alih memikirkan kejadian semalam yang membuatnya terluka.

"Enggak, Mah. Raina nggak bisa masak, bedain jahe sama lengkuas aja belum bisa," jawab Raina santai. Masih sambil memegang gelas berisi air es.

"Raina taunya berantem doang, mah. Terus nge-jancuk, babi, anjing, bangsat dan kata makian lainnya ke Juna." Arjuna, tuh, mulutnya kenapa, sih?

"Eh, anak cewek harus bisa masak. Ya kalaupun nggak bisa, seenggaknya tau bumbu dapur. Sini, Mama ajarin."

Kalimat Mama membuat Raina terdiam. Membayangkan, bagaimana jika perempuan di depannya adalah Mamanya. Yang meraih pundak Raina lembut sembari menjelaskan segala jenis bumbu masakan.

Tanpa sadar air mengalir lembut dari sudut matanya. Dan dengan cepat Raina mengusapnya.

"Eeh, eh. Raina jangan ngusap mata, kamu baru aja megang cabe." Mama terlihat khawatir lantas menuntun Raina ke wastafel. Raina bego kalo udah ngelamun gini.

Gelegar tawa Arjuna adalah yang paling jelas Raina dengar. Bahkan menyamarkan kalimat-kalimat khawatir Mama. Sumpah, ya. Arjuna tuh sosok paling bangsat yang pernah ada. Masya Allah, Raina ngomong kasar lagi.

***

Raina selalu jadi hiburan Arjuna setiap patah hati. Nggak tau kenapa. Cewek itu seperti selalu hadir ketika suasanya hatinya sedang tak baik-baik saja. Seperti hari ini. Tadinya Arjuna hanya goleran di kamar karena males banget. Dia bahkan skip kelas pagi sama siang karena begitu malas. Namun sore ini Raina justru datang. Bersama tingkah anehnya yang selalu membuat Juna tertawa.

"Mah, Raina pantesnya di jalanan. Berantem sambil bawa gir motor. Bukan masak di dapur kayak gitu. Raina, tuh, preman, Mah." Arjuna masih ngakak begitu keras. Bahkan perutnya sampai kebas karena keseringan tertawa.

"Diem, bingsit." Raina memaki namun dibuat lebih sopan karena ada Mamanya. "Ah, perih, Mah."

Arjuna tertawa sekali lagi. Bahkan ketika Lana, Ali dan Setiyaki memberi salam, Arjuna tak mendengarnya. Tau-tau ketiga adiknya sudah duduk disekelilingnya. Ali membuka bungkusan keripik tempe di meja, Lana mengambil alih jus jambu di tangan Arjuna dan Setiyaki yang secepat kilat meraih remot tv untuk mencari tayangan sinetron sore favoritnya.

"Kak Juna kalo ketawa jangan kayak gitu. Mirip setan." Lana berbicara santai namun masih bisa didengar hingga dapur.

"Bukan mirip lagi, dek. Kakak kamu emang setan." Raina berucap lantas detik berikutnya tawa Mama menguasai dapur. Arjuna manyun.

"Mirip setan? Emang kamu pernah liat setan ketawa?"

Arjuna lupa, adik-adiknya tak pernah baik pada dirinya. Selesai kalimat itu ketiga adikanya menunjuk Arjuna dengan kompak.

Sore berjalan heboh karena adik-adiknya memilih main uno di depan televisi. Sambil menunggu Mama yang masak makan malam sama Raina. Kata Mama sekalian bikin camilan buat nanti malem. Mendekati pukul enam Mas Abim datang bersama motor vespanya. Masuk setelah memberi salam dan bergabung bersama adik-adik setelah mandi. Bang Banyu juga ikutan gabung setelah membatalkan jadwal apelnya ke Teh Aya karena hujan tiba-tiba turun.

"Kok Aji belum pulang?" tanya Bang Banyu setelah mengeluarkan kartu terakhirnya.

"Katanya mau ketemuan sama temennya," jawab Ali.

"Sama kak Zahra, kak?" tanya polos Lana.

"Kayaknya. Sama Setiaji juga."

"Mereka siapa?" tanya Mas Abim.

"Zahra itu gebetannya Aji. Trus Setiaji itu temennya Aji." Setiyaki mengimbuhi, "Aji sama Setiaji temenan karena namanya sama-sama Aji. Biar kalo dipanggil guru, guru-guru pada bingung."

Makan malam tersaji namun tak ada tanda bahwa Aji akan pulang padahal hujan semakin lebat. Bahkan Raina memilih menginap di rumah karena kebetulan Papi sedang di Lampung jadi bisa nemenin Mama. Jarum jam merambat perlahan hingga angka sembilan sempurna tertunjuk. Anak-anak termasuk Mama dan Raina masih setia goleran di depan Tv. Namun tanda tanda Aji pulang belum sedikitpun terlihat.

Mama khawatir begitu pula Bang Banyu. Namun disini Arjuna lebih khawatir karena anak itu jarang mematikan ponsel atau pergi tanpa pamit. Mama semakin khawatir kala hujan diluar sana semakin mengerikan. Petir menyambar bersama gelegar. Mama takut, setakut itu pada hujan dan masa lalunya. Takut sebuah kejadian buruk satu tahun lalu kembali terulang.

**

Arjuna | Hwang HyunjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang