Bagian 21

9 0 0
                                    

***

"Mbak, ice americano satu sama Ice vanilla latte satu. Americanonya kasih ke meja tujuh, ya, mbak. Nanti yang vanilla kasih ke meja nomer tiga belas."

Aji melenggang santai menuju kursi nomor tujuh. Kursi yang dekat dengan jendela kiri. Disana sudah ada Setiaji yang asik membolak balik buku. Ralat, mebolak balik buku Kimia tidak pernah asik. Setiaji kadang menarik rambut atau menggelembungkan pipi kesal karena gagal mengerjakan soal.

"Lo aja, Ji. Gue cari nomer lain." Setiaji melempar pensil. Membuat Aji tertawa lirih.

"Padahal lo yang semangat mau ngerjain. Semangat lo tadi mana?" Aji meraih satu cookies coklat milik Setiaji. Dan cowok itu justru menatap kesal.

"Setiyaki sama Ali jadi kesini, nggak?"

"Enggak kali. Tadi pagi Mama bilang mau masak sayur asem, pasti pada pulang dulu. Kalo pantatnya baik baik aja, mereka dateng, kalo enggak, paling nempel di depan tv."

Aji menoleh kesana kemari. Ada banyak sosok di kafe bang Jeno, walaupun sebagian besar sosok itu tidak berbahaya namun tetap saja menakutkan. Salah satunya adalah sosok seorang lelaki muda yang duduk di pojok ruang. Dengan buku tebal dan kacamata yang pecah sebelah. Ada darah mengalir dari pelipis kiri namun tidak pernah mengganggu kegiatan sosok itu. Aji sering melihat sosok itu. Dia tidak pernah menganggu, karena yang sosok itu kerjakan hanya membolak-balik setiap lembar buku. Begitu terus.

"Kalo Setiyaki nggak dateng, gue pasrah dapet nilai nol dari Bu Ririn." Setiaji anaknya memang mudah menyerah. Padahal dia belum berusaha dengan serius.

"Sini, gue aja." Aji menawarkan diri. Padahal dia juga tidak bisa, hanya kasihan pada Setiaji. Toh mengarang indah Setiaji juga tidak akan tahu.

Ice americano Aji datang beberapa menit setelahnya. Tepat ketika Aji mengeluhkan soal yang lebih sulit dari yang pernah dipelajari di sekolah. "Gila, gue nyesel masuk IPA."

"Untung gue dulu anak IPS," ujar sosok berseragam yang tiba tiba muncul di samping Aji. Aji kaget hingga melempar pensilnya kemudian melotot pada sosok tadi. Untungnya Setiaji sedang sibuk dengan ponselnya, jadi dia tidak sadar jika Aji sedang dramatis karena setan.

"Ji, abang mau jemput Jihan dulu. Kamu jaga kafe, ya? Bantuin Mbak Ratih kalo rame." Bang Jeno memberi pesan. Entah itu pada Aji atau Setiaji karena Setiaji terlihat tidak peduli dan malah bermain ponsel.

"AJI! Denger, nggak, abang ngomong apa?"

Setiaji dan Aji mengerjit kaget. Bahkan ponsel Setiaji sampai jatuh hingga lantai.

"Aji yang mana, bang?" Aji bertanya lirih. Takut kalo Bang Jeno ngamok lagi. Soalnya otot sama badan bang Jeno serem, walaupun mukanya kayak anak yang sering iklan susu.

"Kalian berdua, lah. Dah, abang keluar dulu."

Kepergian bang Jeno bersamaan dengan beberapa pelanggan masuk. Setiaji berdiri lantas berlalu. "Gue bantuin mbak Ratih dulu. Lo kerjain sisanya, ya?"

Sisanya yang Setiaji maksud tuh apa? Ini soal belum satupun ada yang bisa terjawab. Namun Aji tetap menagguk. Jantungnya masih terpacu karena bentakan bang Jeno tadi.

Akhirnya Aji kembali fokus. Menjelajah sebuah web bernama brainly yang menjadi penyelamat bagi manusia pemalas namun ingin dapat nilai bagus semacam Aji ini.

Tak berselang lama Aji bisa fokus sebuah kertas mendarat di depan wajahnya. Dari sebuah tangan lentik yang cantik. Aji mendongak dan menemukan seorang cewek berambut panjang yang tersenyum cerah ke arah Aji. Naluri seorang laki-laki, Aji tersenyum dengan gerak bibir cewek didepannya.

"Nama sama nomer gue, ada akun instagram juga. Chat, yah?" ujar cewek tadi lantas berlalu meninggalkan Aji bersama bingungnya. Aji meraih kertas note berwarna kuning di depannya. Lantas membaca sebuah nama yang tertulis rapi disana. Laluna.

***

"Dia suka sama lo kali, Lun?" ucap teman Luna yang duduk di depannya. Sesekali berbisik sambil melirik meja yang berada di sisi berlawanan.

"Apaan, sih. Gue nggak kenal dia, Ra." Luna ikutan tersipu.

Beberapa menit lalu seorang pelayan mengirim segelas ice vanilla latte ke meja Luna. Padahal sebelumnya Luna belum memesan. Kata pelayannya pesanan itu dari meja nomor tujuh yang kini di huni oleh dua laki laki tampan. Luna akan dekripsikan. Dua cowok itu sedang duduk berteman beberapa buku yang terbuka. Ada dua gelas dan satu piring cookies coklat. Satu laki laki lebih tinggi dengan tangan besar sedang bermain ponsel. Sesekali tersenyum yang menunjukkan gerak bibir yang begitu cantik. Satu lagi sedang fokus dengan beberapa buku. Dengan pipi yang kadang menggembung dan helaan napas kekecewaan.

Ara benar, dua cowok di dekat jendela itu sangat tampan.

"Dia suka sama lo, sih. Fix, mana ada nggak kenal tapi ngasih ice vanilla latte. Pengagum rahasia lo kali."

Ini memang bukan kali pertama seorang Laluna Citraksa Banyugeni mendapat minuman gratis dari beberapa orang tak di kenal. Minggu lalu juga, di kafe dan kursi yang sama. Luna jadi menduga bahwa kata Ara memang benar. Mungkin cowok tadi adalah penggemar rahasianya.

"Ganteng banget, Ra." Luna berbisik ke arah temannya.

"Kan, kan. Kenalan sana. Kalo lo sama yang itu, gue sama yang didepannya," ucap Ara mendapat decihan ringan dari Luna.

"Emang tuh cowok mau sama lo?"

"Lo kalo ngomong pedes banget, Lun. Gue gini gini juga cewek." Teman Luna berdecak kesal.

"Bercanda, Ra." Luna tertawa ringan setelah berhasil menyindir Ara karena pakaiannya yang serupa laki laki. "Gimana gue kenalannya? Malu gue."

"Malu? Tumben Luna bisa malu."

"Bangsat, kecilin suara lo."

Luna lagi lagi melirik ke arah cowok itu. Manis banget, sumpah. Senyum cerahnya setelah bertengkar dengan kawan di depannya, decak kesalnya, dan cara dia mengacak rambut. Aduh, Laluna, jangan pingsan karena dia.

Ara meletakkam sebuah kertas kecil berwarna kuning. Kemudian menyodorkan pulpen kearah Luna.

"Apa?"

"Tulis aja nama sama nomer telepon lo. Nanti lo kasih ke dia," ucap Ara. Lalula tersenyum lantas menerima uluran pulpen dari Ara.

"Apa, gue harus tulis apa aja? Nama sama nomer gue doang? Twitter sama Instagram harus nggak?" Luna sepertinya terlalu excited.

Ara malah memukul jidat Luna kecil. "Bego, lo mau kenalan bukan promosi akun."

***

"Kenalan boleh, promosi akun harus

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kenalan boleh, promosi akun harus." - Laluna to Ara.

Arjuna | Hwang HyunjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang