***
"Lo berharga buat gue, jadi tolong jangan bikin gue sakit lagi," gitu katanya. Raina terdiam. Berharga?
Sejauh ini tak ada seorangpun yang pernah bilang bahwa Raina berharga. Bahkan Raina sendiri berpikir tentang hidupnya yang sama sekali tak pernah berguna.
Berharga bagi Raina terlalu istimewa. Hingga terdiam adalah satu-satunya cara untuk menanggapi apa yang baru saja Juna katakan.
'Berharga menurut lo itu? Yang kayak gimamana?'
Namun Raina tak berani bertanya. Takut akan jawab yang tak Raina inginkan terlontar dari mulut manis Arjuna.
Baru saja, sebuah desiran hangat merambat dari bibir menuju hatinya. Raina sempat terpejam sebelum akhirnya sadar bahwa rasa manis itu bukan miliknya. Bahwa bibir lembut itu hanya singgah karena sebuah kekhawatiran akan banyak hal. Dan akan menghilang jika pemilik sah-nya hadir untuk memilikinya lagi.
"Jangan jauh-jauh dari gue mulai sekarang." Arjuna berkata dengan tegas. Namun ketegasan itu membuat Raina sedikit sesak. Karena Raina berharap ketegasan itu memiliki arti lain. Bukan untuk kata teman atau sahabat.
"Ey, jangan gitu. Gue bakal baik-baik aja."
"Rai," Arjuna memegang bahu Raina. Hangat kembali mengalir namun dengan kuat Raina menolak. Jangan sekarang. Rasa itu jangan datang untuk saat ini. "Gue takut, dan satu satunya orang yang paham akan ketakutan gue cuma lo. Jadi jangan kenapa-napa."
Raina menatap manik mata Arjuna. Dibaliknya ada sebuah gurat takut dan khawatir. Lantas sebuah sinar muncul diantara detak jantungnya. Raina tau sorot mata itu. Namun teka-tekinya adalah kenapa hanya Raina yang menjadi saksi atas sorot menyakitkan milik Arjuna.
Raina kemudian menunduk. Mengalihkan pandang dari mata Arjuna dan memilih memainkan jemarinya. Beberapa saat kemudian sebuah mobil berhenti tepat di depan rumah. Menurunkan Aji yang kemudian masuk tanpa mempedulikan Raina dan Arjuna yang menunggunya di luar.
"Aji, kamu udah... " kalimat Arjuna terabaikan. Cowok itu melenggang gamang menuju lantai dua. Tanpa menatap Bang Banyu atau Mas Abim yang ikutan mengikuti arah jalan Aji dengan tatap mereka.
Arjuna berlari menyusul ketika Aji sempurna menutup pintu kamar. Sedangkan Raina memilih untuk berjalan mendekat ke tempat Mas Abim dan Bang Banyu duduk.
"Aji kenapa?" tanya Bang Banyu.
Raina hanya menggeleng. Karena dia memang tidak tau.
Sekilas wajah Aji terlihat kusam. Dengan rambut basah dan lepek. Juga baju seragamnya yang setengah basah. Cowok itu berjalan tanpa ekspresi namun dari suasananya ada hal aneh. Seperti ada sebuah kata kecewa atau sedih diantaranya.
"Ada masalah kali. Katanya dia tadi jalan sama gebetannya, paling di tolak." adalah kalimat enteng Ali yang kini duduk dibawah bersama Setiyaki. Lana sudah tak disana, mungkin anak laki-laki itu memilih tidur lebih cepat.
***
"Dek? Aji? Buka pintunya dulu, dong."
Arjuna mencoba memutar dan mendorong gagang pintu berkali-kali. Namun tak ada jawab yang hadir dari dalam. Senyap, seolah seorang yang baru saja masuk lenyap begitu saja.
"Bukain dulu. Kalo kamar dikunciin kakak mau tidur mana?"
Namun tetap tidak ada jawab. Hinggan Bang Banyu ikutan naik dan berkata dari luar.
"Ji, kalo kamu ditolak, jangan ngambek kayak gini. Abang pernah pernah ngerasain di tolak sama cewek juga, kok."
Bang Banyu apaan, sih? Sok tau banget kalo Aji habis ditolak sama gebetannya.
"Apaan, sih, bang?"
"Kata Ali, Aji baru aja ditolak sama gebetannya."
"Baru katanya, bang. Bukan faktanya."
Arjuna kadang bijak, kan?
"Emang kenapa?"
"Ya mana Juna tau."
Bang Banyu berdecak. Kemudian turun dengan santai sambil menggaruk perut. Juna agak jijik soalnya Bang Banyu pake kaos partai lagi. Bedanya kalo tadi gambar pak Prabowo sekarang giliran gambar pak Jokowi. Nggak tau juga, Bang Banyu itu pendukungnya siapa.
Saat itu Raina memilih naik. Saat bersimpangan dengan Bang Banyu Raina juga menunjukan raut yang sama seperti Arjuna. Kayaknya Raina juga heran ada manusia kayak Bang Banyu di muka bumi ini.
"Di kunci?" tanya Raina mencoba membuka gagang pintu. "Yaudah, sih. Biarin aja dulu. Bujang, Jun. Kata Ali paling ditolak cewek."
Raina naik cuma mau bilang itu. Kemudian turun sambil menggaruk rambut. Sumpah, ya. Mereka tuh kenapa, sih.
Arjuna ingin percaya jika masalahnya hanya sesepele itu. Tentang Aji yang baru saja ditolak. Namun hatinya seolah bilang tidak. Seolah Arjuna khawatir berlebihan.
Arjuna tidak turun seperti yang lain. Memilih membuka balkon dan duduk disana. Menunggu siapa tau Aji keluar dari kamar dan mau bercerita.
Balkon atas memang selalu punya banyak cerita. Sejak Arjuna kecil, balkon ini adalah tempat ternyaman untuk memeluk toples berisi camilan sambil mendengar cerita Papi atau Mami. Menjelajah ke masa muda mereka yang seputar kisah asmara. Atau tentang berjalanan bisnis Papi yang naik turun. Sambil menggoyangkan keranjang gantung milik Aji dan Ali yang terletak di sudut kiri.
Atau leha-leha bersama kak Lino sambil ngeyot es kiko yang dibagi dua. Sambil bercerita tentang kisah asmara Kak Lino yang juga naik turun.
Ah, mengingat kisah asmara Kak Lino pasti sebagian besar dari kalian ada yang penasaran tentang Teh Rima. Setelah kematian Kak Lino, teh Rima memilih untuk pulang ke Bandung. Melupakan studinya di jakarta. Memilih mengubur dalam kenangan itu agar tak terbuka secara tiba-tiba. Ketika Arjuna tanya kenapa, teh Rima akan menjawab bahwa Jakarta memiliki banyak kenangan bersama Kak Lino. Senja di jakarta dan Fajar di jakarta berbeda dengan senja dan fajar di Bandung. Kata Teh Rima, setidaknya di Bandung hanya ada kenangan manis bersamanya. Bukan hal yang menyangkut perpisahan.
Namun semua itu berkebalikan dengan Arjuna. Justru bagi Juna dia ingin semakin dekat dengan Kak Lino dan Mami. Bahkan Juna pernah mendeklarasikan untuk tidak akan pernah meninggalakan rumah ini dan Jakarta. Karena banyak kenangan yang harus tetap Juna ingat.
"Kalo disuruh milih Jakarta sama Bandung, kak Lino mau pilih mana?" pembicaraan Setiyaki hari itu yang tak sengaja Juna denger.
"Kenapa tanya?"
"Biar Setiyaki bisa bandingin Jakarta sama Bandung itu bagus mana."
"Karena kamu udah gede, jadi kakak bakal jawab dengan cara yang dewasa."
Arjuna masih menyimak hari itu.
"Kakak bakal jawab Jakarta. Walaupun kakak lahir di Bandung, tapi Jakarta lebih bagus daripada banyak tempat."
Kenapa? Arjuna juga bingung. Padahal Jakarta panas, sesak dan banyak polusi. Kotor banget, kalo Bandung, kan masih lebih bersih dan dingin.
"Karena banyak cerita baik dimulai di Jakarta. Seenggaknya kisah hidup kakak. Karena semakin kamu dewasa, tempat yang paling nyaman itu adalah tempat yang ada kata bahagia diantaranya. Bukan cuma sedih atau kecewa." Kalimat Kak Lino hari itu masuk dalam diri Arjuna sangat dalam. Karena tempat yang nyaman itu tempat dengan kata bahagia. "Dan kadang bahagia itu sederhana, dek. Kamu lihat dibawah tudung saji ada sambel terasi sama sayur asem, beuh, bahagianya bukan main."
Arjuna berdecih sembari tersenyum. Betul, namun sayangnya Arjuna benci sayur asem.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Arjuna | Hwang Hyunjin
FanficPotongan Cerita : "Saka!" teriak Ecan yang hanya di anggap gonggong liar seekor anjing oleh Saka. "Woy, Saka. Monyet!!" "Apaa, sih. Anjing. Santai, bego." "Astagfirullah, Saka. Mulut kamu berdosa sekali." Ecan dramatis banget sembari menutup mulu...