***
Raina pulang ke rumah kala Papa juga sudah berada di rumah dari perjalanan dinasnya. Memang, hubungan Raina dengan Papa juga tidak begitu baik, namun masih terhitung lumayan dari pada dengan Mama.
Hari itu, kala Raina pulang bertepatan dengan Papa yang baru keluar dari mobil di papah oleh pak Agus, supir mereka. Sepertinya Papa mabuk berat. Jasnya lusuh dengan dasi yang sudah tak berbentuk. Bahkan kemejanya lecek dengan bercak merah disana. Raina langsung menyimpulkan, itu bukan darah. Mungkin bekas gincu dari para wanita malam di bar yang baru saja Papa kunjungi.
"Teh, kok baru pulang, tadi Mama nyariin," ucap Mbak Ayu, asisten rumah tangga di rumah Raina.
"Mbak Ayu bilang apa?"
"Paling Teh Raina lagi ada kelas malem, gitu."
Raina tersenyum simpul. Kemudian mengacungkan jempol ke arah Mbak Ayu. Mbak Ayu berumur pertengahan empat puluhan. Sudah mengabdikan diri sejak Raina masih sekolah dasar. Mbak Ayu adalah satu-satunya anggota keluarga yang menganggap Raina ada. Yang menyuapi Raina saat sakit, yang menutup telinga Raina rapat saat Papa dan Mamanya sedang bertengkar.
"Tapi, teh." Raina berhenti setelah ucap Mbak Ayu. Berbaik untuk menatap raut wajah ketakutannya. "Kamarnya..."
Raina membulatkan mata sebelum Mbak Ayu selesai dengan kalimatnya. Langsung berlari ke kamarnya untuk mendapati seluruh barangnya berantakan. Buku-bukunya berserakan, semua isi laci meja dikeluarkan semua, baju dan banyak barang di lemari berserakan di atas ranjang. Raina merah padam, lantas dengan kepala panasnya anak itu berjalan cepat ke kamar Mamanya.
Raina mendobrak. Kemudian dua manusia di dalam kamar menatap Raina heran. Bahkan Papa yang setengah sadar.
"Mama ada hak apa, sih, atas kamar Raina?"
Mamanya berdiri juga dengan amarah. Membuka laci di nakas lantas membuka botol obat dan menuangkannya ke lantai kamar. "Ini? Apa maksud kamu?"
Raina menggertakkan gigi. Mengepalkan kuat tangan lantas memukul pintu kayu dengan seluruh kekuatannya. Bahkan kini, darah segar mengalir perlahan.
"Kalo kamu mau coba bunuh diri, jangan di rumah ini."
Raina sudah sesak. Dadanya sudah bersiap meledak saat itu juga. Namun satu satunya hal yang bisa Raina kalukan hanya memukul pintu kayu itu sekali lagi. Untuk menghasilkan luka baru di tangan kirinya. Mbak Ayu yang menyaksikan tersekat. Menatap sedih Raina.
Raina keluar rumah. Mengabaikan Mbak Ayu yang mengejar sambil menangis. Juga pak Agus yang mencegat Raina dengan kekuatan yang dia bisa. Tapi Raina terlalu murka untuk sekedar menoleh ke belakang.
Obat yang Mama buang adalah obat tidur Raina. Yang sesekali dia minum jika Raina semalam suntuk selalu terjaga. Namun akhir-akhir ini Raina sering mengonsumsi obat itu. Raina yakin Mama tau dari Mbak Ayu, karena satu satunya orang rumah yang tau bahwa Raina kecanduan obat tidur hanya asisten rumah tangganya itu.
Raina tak bisa marah pada Mbak Ayu, bagaimanapun juga tak ada niat jahat dari perbuatannya. Mbak Ayu juga tak akan memikirkan tindakan Mama setelahnya. Namun bagaimanapun juga sesuatu terlanjur terjadi.
Raina berjalan cepat menuju gelap. Melupakan sinar dibelakangnya yang mulai meredup. Raina sudah bilang, kan? Kalo dia jarang bisa bersahabat dengan sepi. Dan saat ini dada Raina semakin sesak. Kala sepi mulai merajai setiap sisi Raina. Raina hanya bisa menangis sambil sekuat tenaga menahan amarah. Menahan kuat dada dan kepalanya agar tak meledak sekarang.
Namun sejauh apa Raina bisa berjalan? Sejauh apa Raina bisa bertahan bersama keadaan hatinya yang hampir menelan Raina hidup-hidup. Tiba di sebuah jembatan gantung yang sepi Raina berteriak. Pada gelap dibawah sana. Pada siapa saja yang akan mendengarnya. Pada apa saja yang mungkin paham dengan apa yang baru Raina rasakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arjuna | Hwang Hyunjin
FanfictionPotongan Cerita : "Saka!" teriak Ecan yang hanya di anggap gonggong liar seekor anjing oleh Saka. "Woy, Saka. Monyet!!" "Apaa, sih. Anjing. Santai, bego." "Astagfirullah, Saka. Mulut kamu berdosa sekali." Ecan dramatis banget sembari menutup mulu...