***Sejak kematian Zahra hari itu, baru sempat Aji dan Setiaji berkunjung ke makam Zahra. Dengan bujuk yang luar biasa Aji lontarkan pada Setiaji, akhirnya cowok itu mau datang.
Setiaji berjalan bersama buket bunga Lili putih. Berjalan perlahan sambil menunduk. Cowok itu masih takut padahal satu bulan sejak kematian Zahra sudah mereka lewati dengan tenang.
"Kalo lo belum siap, masih ada hari hari berikutnya, Ji," kata Aji saat keduanya berada di warung yang jauh dari pemakaman.
"Enggak, gue harus berani." Setiaji menatap lurus. Menegakan bahunya lantas menggenggam erat bunga miliknya.
Keduanya berjalan beriringan. Menuju sebuah gundukan tanah dengan banyak bunga disana. Ini pertama kali Aji melihat rumah istirahat Zahra. Tempatnya tenang. Berada tepat dibawah bungan kamboja yang sedang mekar hari itu. Ada banyak sosok aneh di pemakanan yang jujur membuat Aji sedikit ragu untuk melangkah. Namun sekali lagi Aji menegaskan pada diri sendiri bahwa dia datang untuk Zahra, bukan untuk sosok sosok itu.
"Hai, Zahra. Kita akhirnya berani dateng," ujar Aji saat keduanya sampai. Setiaji menunduk setelah meletakkan bunga diantara beberapa bunga yang sudah mengering. Aji tersenyum simpul.
Ada sosok nenek tua yang duduk di nisan sebelah pembaringan Zahra. Sosok nenek itu tersenyum ramah pada Aji yang tak sengaja menatap matanya.
"Ra, maaf kita baru dateng. Maaf juga, soalnya gue nangis." Setiaji menunduk dalam. Sambil memainkan jemari besarnya.
"Dia teman kamu?" ujar sosok tadi. Aji menatapnya sejenak kemudian beralih pada bunga Lili yang Setiaji letakkan. "Jangan sedih, dia pasti bahagia di alam sana."
Sosok tadi kini berdiri setelah berucap. Mengilang dibalik pohon kamboja yang padahal berbatang kecil. Menghilangnya sosok itu menghadirkan angin kecil. Lantas aroma harum bebungaan menyeruak di udara. Aji kembali tersenyum simpul.
"Ra, banyak banget yang pengen gue ceritain ke lo. Salah satunya Setiaji, sekarang dia jadi lebih cengeng dari gue. Dikit dikit nangis. Liat meja kamu, nangis. Liat loker kamu, nangis. Liat piano yang di ruang musik, juga nangis." Kalimat Aji mendapat jawilan kasar dari Setiaji. Aji mengaduh namun detik berikutnya dia tertawa. "Gue bakal beli Ice Vanilla Latte buat lo setiap sabtu. Bakal gue kasih ke meja nomer tiga belas yang deket jendela. Siapapun yang dapet minuman itu, gue anggep itu adalah sedekah yang lo kasih ke orang lain."
"Kalo gitu gue juga. Cookies coklat yang pernah Bang Jeno buat tapi nggak pernah masuk menu, gue bakal paksa Bang Jeno buat bikin dan dimasukin ke menu. Biar mereka juga tau, kalo cookies itu enak banget di makan sama Ice Vanilla Latte."
Setiaji tersenyum pada akhirnya. "Lo bahagia, kan, Ra?"
"Tapi maaf, ya, Ra. Kayaknya gue sama Setiaji nggak bisa akur kayak mau lo. Setiaji makin lama makin ngeselin." Setiaji menarik telinga Aji kemudian. Dan membuat Aji mengaduh lantas melotot. "Tuh, kan. Setiaji makin ngeselin."
Setiaji menunduk menyembunyikan senyum. Angin yang membawa aroma itu semakin kuat. Aji tersenyum. Sepertinya Zahra memang bahagia.
Selesai berkunjung ke makam Zahra, Aji memutuskan mengunjungi kak Lino juga. Ia berpesan pada Setiaji untuk menunggunya di warung tempat motor Setiaji terparkir. Kemudian Aji masuk ke pemakaman lebih dalam. Tempat Kak Lino berbaring dengan nyaman. Disamping makam Mami yang kenangannya bahkan sudah tak bisa Aji ingat.
Sebelum sampai, Aji melihat seorang berambut melebihi bahu. Sedang menunduk sambil menangis di nisan kak Lino. Ada banyak batang bunga Aster disana. Entah itu yang masih baru atau sudah mengering. Aji mendekat. Jika itu memang manusia, Aji akan menyapa. Namun jika sosok itu adalah hantu, wah, sepertinya Kak Lino juga terkenal di dunia setan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Arjuna | Hwang Hyunjin
Hayran KurguPotongan Cerita : "Saka!" teriak Ecan yang hanya di anggap gonggong liar seekor anjing oleh Saka. "Woy, Saka. Monyet!!" "Apaa, sih. Anjing. Santai, bego." "Astagfirullah, Saka. Mulut kamu berdosa sekali." Ecan dramatis banget sembari menutup mulu...