***
Aji pamit ke Ali untuk pulang terlambat. Dia bilang akan ketemu dengan Setiaji untuk membicarakan sesuatu. Padahal itu hanya alibi karena Aji akan keluar bersama Zahra.
Sore itu langit barat sedang cerah. Ada cahaya oranye yang memenuhi separuh langit meski matahari belum sepenuhnya tumbang.
"Kak Lino, hari ini Aji mau bilang suka ke Zahra. Bilangin ke Tuhan biar semua lancar, ya?" batin Aji ditengah ramai antrian bus. Entah ramai manusia atau ramai dengan sosok aneh, intinya sore itu sangat ramai.
Zahra minta ketemuan di sebuah kafe yang tak terlalu jauh dari sekolah. Kafe yang selalu mereka datangi hanya untuk ngobrol atau mengerjakan tugas bersama kawan kawan lain. Kafe itu milik kakaknya Setiaji, jadi sekalian menjadi pengelaris.
Macet jakarta selalu menjadi teman paling setia di sore hari. Bersamaan dengan pulang anak sekolahan dan pekerja kantoran. Membuat seluruh kota padat akan kendaraan atau manusia yang berjalan di trotoar jalan dengan teman mereka.
Sore itu juga sama. Meski tak seramai biasanya namun laju kendaraan tak bisa lebih cepat dari bajaj di gang-gang pasar.
Sampai di kafe Setiaji sudah menyambut di meja counter. Menyapa Aji yang berjalan santai mendekat.
"Ji," sapa Aji pada Setiaji yang bercelemek hitam namun masih berseragam.
"Oi, sendirian aja?" tanya Setiaji.
"Enggak, janjian ketemu sama Zahra." Aji menjawab setelah duduk di sebuah meja dekat counter.
"Berduaan aja?" tanya Setiaji keluar dari balik counter. Melepas celemek hitam lantas meraih tas gendong hitam dan ikut duduk di depan Aji.
"Yoi, makanya lo jangan ganggu."
"Halah," sindir Setiaji yang hanya diberi tanggapan tawa dari Aji. "Janjian jam berapa emang?"
"Masih lama, sih. Gue kesini dulu karena kangen lo."
"Bullshit banget jadi orang."
"Aji, temen kamu mau pesen apa?" teriak kakak Setiaji dari balik counter. Aji menjawab dengan geleng kemudian diteruskan oleh Setiaji.
"Aji pesen nanti, masih nunggu kawan." Setiaji balas berteriak ke kakaknya.
"Bukan kamu, tapi temen kamu."
"Iya, Aji pesen nanti aja. Kawannya belum dateng." Setiaji berteriak lagi.
"Heh, ini anak. Bukan kamu, tapi temen kamu. Temen depan kamu itu, lho." Kakak Setiaji berteriak sekali lagi. Lantas detik berikutnya Setiaji memukul jidatnya sendiri. Dia lupa kalo nama mereka sama.
"Maksudnya, temen Aji nanti aja pesennya."
"Oalah. Yaudah, kakak masuk dulu. Nanti kalo ada yang pesen kamu buatin dulu."
Setiaji menjawab dengan jempol dan Aji melihat kakak Setiaji sudah menghilang di balik pintu.
"Bang Jeno sendirian di kafe. Makanya gue kesini."
"Pegawianya kemana?"
"Telat. Paling bentar lagi dateng. Kalo mereka dateng gua mau pulang."
Kakaknya Setiaji namanya Jeno. Agak unik saat pertama Aji mengenalnya. Pas Aji tanya kenapa namanya gitu, ternyata itu singkatan. Namanya James Novian. Disingkat jadi Jeno, biar gampang dan nggak bule pake James segala.
Langit diujung barat tiba-tiba menggelap. Tepat adzan maghrib berkumandang Aji dan Setiaji memilih sholat sebentar di kafe. Kemudian Setiaji pamit pulang karena pegawai kafe sudah datang. Langit semakin gelap bahkan kilat kini sesekali menyelimuti langit. Bersama desir angin yang lembut menerbangkan beberapa spanduk di luar sana. Dalam suasana seperti ini biasanya banyak sosok aneh yang bermunculan dan usil di sekitar Aji. Namun Aji mencoba tidak terganggu walaupun sebenarnya dia kesal diganggu.
Aji memilih berdiri dan mendekat ke meja counter untuk memesan. "Ice Vanilla Latte satu Ice Americano satu, Bang Jen."
"Eh, Aji. Kamu masih disini? Aji udah balik dari tadi, kan?" bingung, yah? Yaudah, sama. Aji juga kadang bingung.
"Iya, masih nunggu temen, Bang."
Aji memilih kembali duduk dan menunggu sambil bermain game di ponselnya. Beberapa saat kemudian pesanan Aji datang namun seorang yang dia tunggu belum kunjung tiba. Padahal sudah lewat setengah jam dari perjanjian.
Setengah jam berikutnya Zahra datang dengan senyum. Wajahnya agak pucat mungkin karena dingin yang tiba-tiba datang bersama hujan. Ah, di luar hujan rupanya.
"Hai, maaf, ya nunggu lama. Tadi ada masalah di jalan," ucap Zahra dengan senyum. Lesung pipi itu tercipta lagi. Dan hal itu cukup membuat dada Aji berdesir hangat. Aji hanya menjawab dengan senyum.
"Aji?" panggil Zahra, Aji hanya menatap dengan senyum. "Nggak jadi."
Wajah Zahra semakin pucat. Aji merasakan ada yang aneh namun dia tak sanggup untuk bertanya. Wajah pucat Zahra terlihat lebih pucat lagi. Ketika Aji berniat memegang dahi Zahra untuk memastikan, cewek itu menghindar.
Tiba-tiba ponsel Aji berdering hebat di sampingnya. Panggilan masuk dari Setiaji awalnya ia abaikan. Namun dering itu semakin kuat sedangkan Zahra tak berkata apapun seolah tak terganggu. Bahkan cewek itu tidak menyentuh minumannya. Hanya terus menatap Aji dengan tatap kosong.
"Aku angkat telfon dulu."
Zahra mengangguk dan saat itu ada darah segar terlihat dari tengkuknya. Awalnya Aji khawatir namun tetap mengabaikan dan memilih berbicara dengan Setiaji di telepon.
"Halo?"
"Ji, lo masih di kafe?" suara Setiaji terdengar menggebu. Seperti setengah berlari dan baru saja mengambil napas.
"Masih. Kenapa?"
"Kalo lo nyusulin gue sekarang? Lo bisa?" suara Setiaji diujung sana masih menggebu bahkan kini sedikit tersekat karena nafasnya yang semakin pendek.
"Lo kenapa? Lo baik-baik aja, kan?"
"Bukan gue, Ji. Tapi Zahra."
Aji bingung. Kemudian menatap Zahra yang kini masih menatapnya tanpa ekspresi. Zahra kenapa? Zahra ada di depannya sekarang. Jadi dia kenapa?
"Zahra? Dia disini. Kenapa emang?"
"Huh? Maksud lo? Zahra di sana?" Setiaji masih sesak sembari mengatur napas. "Zahra sama gue sekarang, Ji. Gue sama dia di rumah sakit. Zahra kecelakan di perempatan deket kafe."
Kalimat itu cukup mengejutkan. Aji terdiam sembari menatap Zahra didepannya dalam. Tak ada cahaya dari mata itu. Dan pucat wajah Zahra semakin membuat Aji tak percaya. Tak ada lengkung senyum dari gadis itu seperti sebelumnya. Dan detik berikutnya Aji tersadar. Dia bukan wujud asli Zahra.
Aji bangkit dengan cepat. Membuat meja bergoyang dan kursi miliknya jatuh. Ice americano dan ice vanilla latte milik mereka jatuh membasahi meja hingga lantai. Gelas itu pecah kala menyentuh lantai keramik yang keras. Dan otomatis membuat banyak mata menoleh pada Aji.
"Zahra, dia kenapa?" Aji bertanya lirih. Bang Jeno menatap heran dari balik counter dan mendekat pada Aji dengan cepat. Cowok itu menatap Aji bingung.
"Lo bisa ke rumah sakit sekarang?" Setiaji berkata dengan nada yang menyakitkan. Dan itu cukup membuat Aji ikutan sakit. Bang Jeno masih terdiam menatap Aji yang berubah takut.
Zahra didepannya kini menunduk. Menunjukan bekas luka parah di kepala belakangnya. Darah mengalir hingga seragam belakang dan rambut yang tadinya lembut berubah kusam karena darah. Aroma kopi yang tadinya memenuhi ruang berubah menjadi anyir darah yang menjijikan.
Tubuh Aji lemah. Dia hampir tumbang namun cepat diraih oleh Bang Jeno.
"Ji? Kamu kenapa?" kalimat Bang Jeno terdengar sangat khawatir.
"Bang," Aji mengatur napasnya. Masih menatap Zahra yang kini mendongak menatap mata Aji berkaca-kaca. "Anterin Aji ke rumah sakit, bisa?"
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Arjuna | Hwang Hyunjin
FanfictionPotongan Cerita : "Saka!" teriak Ecan yang hanya di anggap gonggong liar seekor anjing oleh Saka. "Woy, Saka. Monyet!!" "Apaa, sih. Anjing. Santai, bego." "Astagfirullah, Saka. Mulut kamu berdosa sekali." Ecan dramatis banget sembari menutup mulu...