Bagian 9

13 3 0
                                        

***

Sudah lebih dari satu minggu dan setan itu terus mengikuti Aji kemanapun ia pergi. Walaupun sosok itu tidak sejahil sosok lainnya namun tetap saja ia merasa ngeri. Sosok itu selalu muncul tiba tiba. Dan setiap kali muncul tak pernah dalam keadaan bersih. Selalu ada darah.

"Akhh, please. Jangan ganggu gue, dong."

"Lo selama ini diajarin buat nolong orang nggak, sih?" sosok itu melipat kedua tangan di dada. Mencegat Aji yang hendak ke kamar mandi.

"Diajarin."

"Berarti lo harusnya bisa nolong gue." Sosok itu bedecak sembari menghentakkan kakinya. Aji ikutan berdecih.

"Kakak-kakak gue ngajarin buat nolong sesama manusia. Gue tegasin, MANUSIA!" Aji sengaja menekan kata terakhir sebelum kembali menyusuri lorong sekolah menuju kamar mandi.

"Gue kan pernah jadi manusia! Aji! AAJIII!!"

Aji tak peduli. Itu bukan urusannya. Didalam kamar mandi ada sosok lain yang sedang berdiri dengan gamang. Wajahnya pucat dengan mata cekung yang mengerikan. Sosok itu terpantul dari kaca besar di depan Aji.

"Kaget, anjing." Mulut Aji memang sudah sama kotornya dengan Kak Juna. Harap maklum, mereka roommate.

Sosok itu menghilang setelah Aji memintanya dengan baik. Dan detik berikutnya sebuah getar muncul dari ponsel Aji.

"Halo?"

"Hai. Sore ini mau keluar?" ucap suara diujung sana.

"Kemana?"

"Ice vanilla latte."

Kode itu cukup membuat Aji paham. Kemudian ia mengakhiri panggilan dengan senyum.

Namanya Zahra. Teman sekelas Aji. Zahra itu anaknya baik dan asik banget. Rambutnya panjang melebihi bahu yang selalu ia gerai dengan memberi aksesoris kecil di rambutnya. Wajahnya bulat cubby dengan lesung pipi di salah satunya sisi. Mata bulat dan hidung yang tidak terlalu mancung adalah kesan yang akan kalian terima jika ketemu Zahra. Aji dekat dengan Zahra sejak kelas satu SMA. Dekat dalam artian memang dekat, sebagai laki laki dan perempuan. Awalnya Aji ingin menyangkal perasaanya karena ia takut.

Aji tidak seperti Ali atau Kak Juna yang super terkenal di sekolah. Yang bisa dengan gampang mendekati banyak gadis cantik. Namun Aji bukan Setiyaki yang selalu terpaku dengan ranking atas dan selalu belajar di setiap kesempatan. Aji cenderung seperti anak anak kebanyakan. Belajar jika sempat, pacaran jika ada yang mau, dan tidur jika ada jam kosong.

Mungkin kehidupan itu monoton namun tiba-tiba berubah ketika seorang Zahra masuk ke hatinya. Zahra yang berlari kecil ke arah Aji sembari membawa bola kasti. Dengan rambut berekor kuda berponi tipis didahinya. Awalnya sulit menerka bahwa rasa yang Aji miliki adalah rasa yang lebih dari sekedar suka. Namun pada akhirnya Aji berani memutuskan.

Aji pernah curhat dengan Kak Lino tentang masalah ini. Hari itu mereka selesai bermain basket dari lapangan komplek. Aji pulang lebih dulu dan duduk di balkon teras atas untuk ngelamun. Namun Kak Lino datang menawari Aji kacang rebus.

"Kamu beneran lagi nggak deket sama cewek, dek?" tanya Kak Lino hari itu.

Aji agak bingung namun pada akhirnya menerima uluran piring kacang rebus sembari menggeleng.

"Ada satu cewek yang deket sama Aji."

Kak Lino senyum. Dan senyum itu begitu candu dan merindukan.

"Siapa? Boleh Kakak tau?" Aji menjawab dengan gelengan. "Yaudah, terus kenapa malah sayu kayak gini?"

"Suka sama sekedar kagum itu beda, kan, kak?"

"Iya, beda."

"Aji nggak tau, ini suka atau kagum. Dia cantik, lesung pipinya juga cantik, dia baik dan gampang senyum ke semua orang. Aji suka liat dia senyum. Aji suka liat dia ketawa walaupun tawa sama senyumnya bukan buat Aji."

"Kamu bisa tau kalo kamu berusaha buat tau," jawab Kak Lino hari itu terbayang lagi. Selama ini Aji memang tak pernah mau tau. Namun hari kematian Kak Lino membuatnya seolah berubah lebih banyak. Ah, Aji rindu.

"Aji!" sosok tadi masih menunggu Aji di depan kamar mandi rupanya.

"Setan, lo kalo muncul permisi dulu, dong. Jantung gue, anjim."

Aji mengabaikan setiap ucapan setan itu. Memilih menjauh dari gangguannya dan pura-pura tidak melihat. Sepertinya cara itu akan berguna untuk beberapa saat berikutnya.

***

"Mamah, whiskas Sonnie dimana, ya? Yang baru, yang lama udah abis," ucap Arjuna sambil melenggang menggendong Sonnie.

Setelah kematian Kak Lino, Arjuna menawarkan diri untuk melakukan banyak hal yang selalu kakaknya itu lakukan. Mengurus beberapa tanaman di depan rumah, memberi makan Sonnie hingga membersikan gudang belakang. Banyak hal itu Arjuna lakukan bukan semata karena dia menggantikan tugas Kak Lino, tapi lebih dari itu. Arjuna ingin tau lebih banyak soal Kak Lino. Tentang segala hal atau bahkan menjadi Kak Lino.

"Di bawah akuarium, kak."

"Nggak ada, Mah." Arjuna melenggang tenang. Sedangkan Sonnie malah tertidur di pelukan Arjuna.

"Huh? Masa? Dicari lagi coba, kak."

"Apaan, kak?" Bang Banyu keluar dari kamarnya. Dengan handuk tersampir di pundak dan kaus partai gambar pak Prabowo. Jijik banget lihat Bang Banyu kayak gitu.

"Wishkas Sonnie."

"Oh, habis. Tadi siang terakhir." Jawab Bang Banyu lantas melenggang dengan tenang ke arah dapur.

Arjuna menggeleng. Melihat bagaimana Bang Banyu dirumah sepertinya Teh Aya akan mempertimbangkan lagi kalo mau pacaran sama makhluk aneh bernama Banyu Seno Prihatmoko.

"Mah, Juna mau ke Indimaret depan dulu, ya. Beli Wishkas."

"Eh, Kak. Mamah nitip sesuatu."

Lada bubuk, santan cair, sama kunyit bubuk. Arjuna menghapalkannya sambil jalan. Indimaret tidak terlalu jauh dari rumah. Hanya jalan sekitar limabelas menit santuy.

Di depan Indimaret ada cewek yang meletakkan kepalanya di meja depan toko. Didepannya ada bungkusan snack yang sudah terbuka. Beberapa isinya ada yang bececeran dan sisanya hanya sampah. Arjuna mendekat setalah yakin kalo cewek itu adalah Raina.

"Rai? Ngapain disini?" sapa Juna. Sedangkan cewek didepannya mengangkat kepala menunjukkan betapa lusuhnya dia. Raina tersenyum sebisanya kemudian kembali mejatuhkan kepalanya.

"Gue tadi mau kerumah lo. Tapi ketiduran di depan Indi," jawab Raina.

"Ngapain ke ruamah gue?"

"Bentar, Jun. Gue tidur dulu."

Arjuna membiarkan. Itu kebiasaan Raina. Cewek itu suka berdiam diri lama di depan minimarket. Entah itu untuk menikmati beberapa snack, ice cream atau hanya sekedar menatap lalu-lalang jalan yang ramai. Kata Raina, depan minimarket adalah tempat paling nyaman. Dimana tidak ada orang yang penasaran akan hidupnya namun semua terlihat sangat baik. Mulai dari mbak mbak kasir yang akan menyambut Raina ketika masuk minimarket dan mengucap terimakasih padahal Raina tak sedang berbuat baik pada mereka.

Arjuna keluar dari minimarket setelah membeli apa yang ingin dia beli. Kemudian kembali duduk di depan Raina yang sudah asik mengunyah snacknya.

"Mau ngapain ke rumah gue?"

"Main. Mau ketemu Mamah kamu."

Mendengar jawab itu Arjuna berdecih. Raina memang dekat dengan Mama. Sejak kematian Kak Lino kala itu dan membuat Mama memutuskan berhenti bekerja. Mama jadi jarang punya kesibukan. Biasanya Mama akan mengundang Teh Aya atau Lia datang untuk menemaninya. Atau seperti sekarang, Mama akan memanggil Raina.

"Gimana hubungan lo sama Lia? Kata Ecan lo belum hubungin dia sama sekali," ucap Raina kala keduanya berjalan beriringan.

"Gue di blokir."

"Oh, iya. Gue lupa kalo lo nggak punya otak."

Arjuna cemberut mendengar ucapan Raina. Bener, sih, tapi kok sakit, yah.

***

Arjuna | Hwang HyunjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang