Bagian 12

13 2 0
                                        

***

Raina memang sudah terbiasa dengan keluarga pak Prihatmoko. Cewek itu bahkan sudah sangat bisa diajak adu mulut dengan Mas Abim, gelud dengan Ali dan Lana atau bersekongkol dengan Setiyaki untuk membuat Sonnie ngambek. Akrabnya Raina dengan keluarga Pak Prihatmoko dimulai belum lama. Namun cara Raina mendekatkan diri dengan keluarganya terlampaui hangat. Bahkan Papi dan Mama sempat ingin mengadopsi Raina. Tapi ya masa iya. Raina bukan kucing.

Seperti malam ini. Raina ikutan pusing dengan Aji yang tidak memberi kabar hingga larut malam.

"Tenang aja, Mah. Paling Aji kejebak di kafenya Bang Jeno sama Setiaji. Nggak akan kenapa-napa." Ali berkata santai. Masih ngunyah keripik tempe yang tadi sempat dipending karena makan malam dan main uno.

"Iya, kali, mah. Mamah tidur aja. Pasti capek. Biar kita yang nunggu dia pulang." Setiyaki menimbuhi. Setiyaki memang pintar memprovokasi. Entah itu untuk sisi positif atau sisi negatif. Dan Mama luluh dengan mudah. Akhirnya Mamah masuk kamar setelah memberi pesan pada Raina jika cewek itu ingin tidur cepat bisa ke kamar Mama langsung. Raina menjawab dengan anggukan.

Arjuna memilih keluar dari rumah. Duduk di teras rumah menatap hujan dan pohon kelengkeng yang bergoyang di depan teras rumah. Arjuna jadi rindu kak Lino.

Setiap hujan turun, Arjuna memang suka duduk di teras depan. Menatap hujan dan angin yang menarikan beberapa dedaunan di depan rumah. Termasuk pohon kelengkeng dari Teh Rima yang dipersembahkan kepada Kak Lino.

Pohon kelengkeng itu bergoyang seperti menari dengan anggun. Berteman musik dari tetes air yang jatuh menghantam tanah, daun atau bebatuan. Dingin menyentuh lembut kulit Arjuna yang tidak terlindung kain. Namun menit berikutnya Raina keluar bersama sarung wadimor yang mirip sama yang pernah di pake Lee Taeyong di bandara. Sarung itu milik Ali karena Ali itu selain Vianisti garis keras dia juga NCTzen garis terdepan.

"Ngapain, lo? Khawatir sama Aji?" Raina bertanya lantas duduk di kursi samping Arjuna. Dengan sarung hijau milik Bang Banyu.

"Gue takut." Arjuna berucap datar. Masih menatap pohon kelengkeng yang bergoyang-goyang. "Tapi gue nggak bisa cegah ketakutan gue."

"Takut?"

"Kakak gue pergi pas hujan kayak gini, Rai. Tanpa pamit, tanpa sempat bilang bahwa hari itu dia bakal pergi." Arjuna berkata pelan. Suaranya tersamar hujan namun Raina tetap mengangguk lantas menyentuh pundak Arjuna lembut.

"Jangan takut. Aji bakal baik-baik aja."

"Gue juga percaya dia bakal baik-baik aja." Arjuna menatap Raina. Mata itu bening meski ada gurat sedih disana. Seperti gurat kecewa yang dia tutup dengan bahagia bersama Arjuna. "Gue cuma kangen Kak Lino."

Raina masih menatap Arjuna. Kini senyum samar tercipta dari bibir peach milik Raina. Sejenak bibir itu menghipnotis. Lembut dengan senyum tulus.

"Kak Lino udah bahagia. Dan dia pasti bangga punya adik kayak lo. Yang selalu peduli sama adik-adiknya yang lain."

"Gue pernah mikir. Apa yang bakal terjadi kalo gue nggak nerima Kak Lino jadi kakak gue sampe sekarang. Pasti gue nggak akan minjemin dia motor gue, dia nggak akan kecelakan atau kalo emang itu takdir dia buat pergi, gue bukan adiknya yang paling terluka. Karena gue masih benci sama dia."

"Kadang takdir Tuhan selalu rumit, kan?" Arjuna menatap Raina setelah kalimat cewek itu selesai. Ia mendongak menatap tetes air yang tercipta melewati atas genteng.

"Rai? Lo sakit karena takdir Tuhan?" pertanyaan Juna membuat sorot mata Raina meredup. Ada gurat bingung di wajahnya lantas beberapa saat berikutnya cewek itu tertawa samar.

Arjuna | Hwang HyunjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang