"Bangun pagi lo, tumben?" celetuk Ajun kala mendapati sosok Chanif keluar dari kamar dan menuju kamar mandi. Kegiatan Ajun menggulung lengan kemeja terpaksa berhenti sejenak demi menolehkan kepala, memandang Chanif yang kini memberinya tatapan tidak suka.
"Gue bangun siang diomelin, gue bangun pagi diprotes," sungut Chanif, menguap pendek. Sepasang matanya tampak belum terbuka sempurna. "Mau lo apa, sih, Mas?"
Tanpa menunggu balasan Ajun, Chanif menghilang di balik pintu kamar mandi. Menyebabkan Ajun tertawa sembari menggeleng singkat. Lelaki itu lantas melanjutkan kegiatannya bersiap. Pukul enam lewat tujuh belas menit. Masih banyak waktu bagi Ajun sebelum ia harus berangkat ke kantor.
"Enggak tidur lagi tadi abis subuh?" tanya Ajun segera setelah Chanif keluar dari kamar mandi. Beres dengan menggulung lengan kemeja, Ajun bergerak memasuki kamarnya di sebelah kamar Chanif, berniat mengambil jaket, ransel, serta memeriksa barang-barang keperluannya yang lain.
Kala Ajun tengah membuka laci lemari demi mencari pasangan kaus kaki bersih, mendadak Chanif sudah memasuki kamarnya lalu merebah di ranjangnya. Membuat Ajun menoleh, memandang tubuh menelungkup sang adik.
"Tidur di kamar lo sendiri, anjir, malah ke kamar gue," cetusnya, setengah tertawa. Ajun tidak serius mengucapkannya. Ia tidak terlalu ambil pusing di mana Chanif akan tidur. Toh, selama ini, tiap ia pergi bekerja, pintu kamarnya tidak pernah ia tinggalkan terkunciㅡbahkan ketika masih ada Bara. Chanif bebas memasuki kamarnya jika anak itu ingin.
Tapi dalam suara teredam bantal, Chanif justru bergumam gusar.
"Gue kira lo tadi ngajak ngomong, ya," katanya membela diri. "Gue ke sini biar jawabnya gampang, bisa sambil rebahan."
"Dih?" Ajun tergelak. "Oh, tadi abis subuh tidur lagi apa enggak?" tanyanya, mengulang pertanyaan tidak terjawab tadi sembari duduk di pinggir ranjang demi memasang kaus kaki.
Chanif bangkit duduk, mengangguk singkat, lalu bersandar pada dinding di sisi ranjang Ajun. "Tidur. Tapi barusan kebangun."
"Terus berencana tidur lagi?"
"Enggak tahu."
Ajun menggelengkan kepala. Ia sudah kembali bangkit berdiri, berjalan menyeberangi kamar dengan sepasang kaus kaki terpasang di kakinya. Menuju meja, Ajun kemudian meraih arloji, lalu memasang benda itu di pergelangan tangan. Ia berbalik menghadap Chanif yang tengah kembali rebah, melamun sambil menatap langit-langit kamar.
"Mikir apa lo? Serius banget kayak menteri."
Chanif mendengkus malas, tidak menanggapi. Namun, kala Ajun sekali lagi memunggunginya demi menyambar jaket di sandaran kursi, Chanif memandangi punggung kakaknya itu dalam diam. Ada banyak hal yang mendadak melintasi benaknya. Bayang wajah Ibu, Bapak, masa kecilnya dan Ajun di Cirebon, wajah Rama, wajah Bara, Citra....
"Lo hari ini ngelayap, enggak?"
Wajah-wajah itu lenyap. Chanif mengerjap, bertemu pandang dengan Ajun. Ia menggeleng.
"Enggak. Ada deadline hari ini. Mau ngerjain di rumah aja."
Ajun manggut-manggut sambil mengenakan jaket, memutuskan untuk tidak mengulang pertanyaannya perihal apa yang sedang Chanif pikirkan. Meski menurut Ajun, sesuatu itu tampaknya serius.
Namun, sebelum Ajun meraih ranselnya di atas meja, helaan napas Chanif samar terdengar.
"Mas," panggilnya kemudian. "Lo ... enggak benci gue, kan?"
"Hah?"
Jeda.
Dua kakak beradik itu berdiam. Ajun memandang Chanif lekat sementara Chanif mengedarkan tatapannya ke mana pun selain sosok sang kakak. Perlahan, Ajun melangkah mendekat lalu duduk di tepi ranjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Us✔
General FictionMeet Ajun, who treats everyone kindly but still being failed by the universe, Chanif, who in others' eyes is as bright as the sun, but deep inside has lost his brightness probably long time ago, Danar, who's stubborn and rather stupid for losing som...