"Temennya udah sembuh, Mbak?" tanya Ajun setelah menyesap teh hangat dari gelasnya. Riuh rendah suara di sekitar mereka, mengisi suasana warung tenda Kenanga hari ini. Di depan Ajun, Alika tampak mengangkat kepala, bertemu pandang dengan lelaki di hadapannya, lalu mengerjap. Bertanya.
Ajun menahan senyum. "Maksud saya, temen Mbak Al yang waktu itu dijengukin. Udah sembuh, belum?"
"Oh," Alika tertawa pendek. "Udah, Mas. Udah keluar rumah sakit, tapi masih pemulihan."
"Oh," Ajun manggut-manggut. "Syukur, deh, kalo gitu."
"Ibunya temen Mas Ajun gimana?"
"Masih dirawat, Mbak," balas lelaki itu, setengah muram. Teringat pada sosok Rama yang belakangan selalu tampak lelah tiap kali mereka bertemu. "Sempet membaik cuma katanya kemaren drop lagi."
Pembicaraan keduanya terjeda akibat pesanan yang diantar ke meja mereka. Setelah mengucap terima kasih yang nyaris bersamaan, untuk sejenak keduanya terfokus pada makanan masing-masing.
"Saya udah pengen main ke Alma dari besokannya abis kita ke RS itu, Mbak. Tapi belum sempet, soalnya banyak kerjaan," tutur Ajun, setelah menelan sesuap.
"Oh, ya?" Alika menyahut. "Ngapain?"
Ini lucu.
Ajun menyampaikan hal tadi tanpa berpikir. Ketika Alika justru menanyakan alasan, tentu saja ia tidak punya. Maka lelaki itu mengarahkan pupilnya acak, berusaha mengusir gugup.
"Bukan. Maksudnya, saya mau nemuin Mbak Al aja. Mau tanya, kemaren Mbak Al pulang naik apa, sampe rumah aman apa enggak. Enggak enak aja, Mbak, masa berangkatnya bareng, pulangnya saya enggak tahu." Ajun menjelaskan sambil lalu, seolah ia tidak sepenuhnya peduli. "Mau nge-chat, tapi kan, enggak punya kontaknya."
Percakapan berhenti.
Ketika Ajun mengembalikan fokus, ia mendapati Alika tengah memandanginya dengan ekspresi yang sulit diterka. Membuat sepasang mata Ajun membola kala menyadari sesuatu. "Eh, ini saya enggak lagi modus biar bisa minta nomor, Mbak, sumpah!"
Entah mungkin karena suaranya yang terlampau panik, gadis di depannya itu justru tertawa kecil. Menyebabkan Ajun melepas satu helaan napas lega tanpa sadar.
"Iya, ngerti, kok, Mas," balas Alika. "Saya waktu itu pulang naik busway. Aman, kok. Selamat sampai rumah kayak yang tadi saya bilang."
Ajun nyengir canggung sebelum berakhir mengangguk tanda mengerti. Keduanya lantas kembali melanjutkan suapan dari piring masing-masing. Sesekali, Ajun mencuri pandang ke arah Alika. Gadis itu tampak santai. Berbeda dengan Ajun yang tengah berusaha mengabaikan keringat dingin yang mulai membasahi sekujur punggungnya. Rasanya, sudah lama sekali sejak terakhir kali ia merasa gugup menghadapi seorang perempuan hingga otaknya perlu bekerja keras memikirkan bahan obrolan.
"Mas Ajun sering makan di sini?" tanya Alika tiba-tiba, membuat perhatian Ajun teralih.
Lelaki itu lantas mengangguk. "Lumayan. Mbak Al juga?"
Alika mengedik mengiakan. "Waktu itu kayaknya pernah liat Mas Ajun di sini, tapi lagi ramean sama temen-temennya."
Sepasang alis Ajun terangkat, tidak mengira kalau Alika akan mengenalinya di antara keramaian. Boleh, kan, ia merasa sedikit di atas angin?
"Oh, ya?" tanggapnya, dengan bibir yang kesulitan mengontrol senyum. "Kapan, tuh? Kenapa enggak manggil, Mbak?"
"Enggak enak, Mas. Lagian waktu itu saya juga lagi bareng temen."
"Oh."
Hening lagi.
Diam-diam Ajun berusaha menerka kapan tepatnya ia dan Alika berada di Kenanga di waktu yang sama. Mengapa ia sampai tidak menyadari keberadaan Alika? Tapi kemudian satu pemikiran membuat Ajun tidak bisa melepaskan pandangannya dari Alika. Bibirnya masih menyungging senyum. Setengah menahan tawa, lelaki itu lantas bersuara,
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Us✔
Ficción GeneralMeet Ajun, who treats everyone kindly but still being failed by the universe, Chanif, who in others' eyes is as bright as the sun, but deep inside has lost his brightness probably long time ago, Danar, who's stubborn and rather stupid for losing som...