code d; age of 27

219 32 51
                                    

"Pagi, Mas," sapaan Aldiㅡsalah satu karyawan bagian officeㅡmenyambut Danar segera setelah ia memasuki ruangan. Yang disapa tersenyum tipis, sebagai jawaban.

"Aman, Di?" tanya Danar, sembari menepi ke meja front office. Aldi balas tersenyum.

"Terkendali, Mas."

"Mantap."

Keduanya tertawa.

"Oh, iya, Mas," cetus Aldi tiba-tiba. "ada Mas Rama nunggu di ruangan."

Informasi singkat itu membuat kening Danar berkerut. "Ngapain katanya?"

"Kurang tahu. Tadi bilangnya cuma nyariin Mas Danar, saya bilang lagi keluar, terus katanya mau nunggu di ruangan Mas Danar aja," jelas Aldi, membuat Danar mengangguk ringan.

"Oke, deh," Danar menepuk bahu karyawannya itu. "Gue ke atas dulu ya, Di. Makasih."

"Sama-sama, Mas."

Setelahnya, Danar melangkah meninggalkan front office, melewati koridor dengan ruang studio di kanan-kiriㅡyang tampak ramaiㅡlalu berbelok di ujung lorong, menaiki tangga ke lantai dua, menuju ruang kerja pribadinya. Ia sedang tidak ingin mengontrol kerja para anak buahnya hari ini. Danar cukup percaya, orang-orang di balik pintu studio itu adalah aset terbaik yang dimilikinya.

"Kenapa, Ram?" tanya Danar tanpa basa-basi segera setelah membuka pintu ruangan. Sosok Rama yang tengah memunggunginya seketika berbalik menghadap Danar, lalu tersenyum.

"Bawa rejeki, dong," gurau Rama, membuat Danar tergelak.

"Gaya lo," balasnya, seraya melangkah mendekat. "Apaan?"

Rama cengengesan. "Temen kantor gue ada yang mau nikah."

"Oh. Mau bikin foto pre-wedding?"

"Maternity shoot."

"Anjir, seriusan?!"

"Ya pre-wedding, lah, Nar. Gitu aja nanya," seloroh Rama, diiringi gelak tawa.

"Bangsat!" Danar ikut terkekeh. "Emang kapan rencananya?"

Rama angkat bahu. "Enggak tahu, enggak nanya. Gue cuma nyaranin dia biar pake jasa Portraindscape, terus dia terpengaruh. Udah reserve juga kok, katanya."

"Oh," Danar mengangguk. "Terus lo ke sini mau ngabarin itu doang? Kirain mau sekalian ngenalin temen lo."

Yang ditanya hanya terkekeh sebagai jawaban. Sungguh, Danar seringkali tak habis pikir dengan isi kepala kawannya sejak kuliah ini. Tidak terbaca, sulit ditebak. Masih jelas di ingatan Danar, beberapa kelakuan ajaib Rama yang sanggup membuatnya geleng-geleng kepala. Tidak datang ke upacara wisuda karena salah mengingat tanggal, misalnya. Atau kala Rama bertamu ke rumahnya pukul tujuh pagi karena mengira dirinya sedang berulang tahunㅡdi saat ulang tahun Danar sudah lewat dua bulan.

Memang tidak pernah ada yang tahu, apa yang tengah berlarian dalam kepala Rama.

"Pengen main aja, Nar. Abis dari klien, males balik kantor. Nanggung, bentar lagi jam makan siang juga."

Danar tergelak. Masih asing baginya mendengar Rama kini bekerja untuk satu advertising agency, setelah beberapa tahun lelaki itu hanya sibuk dengan kanvas, cat air, serta art exhibition. Rama memang seorang pekerja seni sejati. Tidak seorang pun tahu apa yang akhirnya menyebabkan lelaki 27 tahun itu memutuskan untuk mengarahkan minat seninya pada bidang bisnis.

Seperti yang Danar bilang,

Tidak pernah ada yang tahu apa yang sedang berlarian dalam kepala Rama.

"Yaudah, entar makan siang bareng aja, lah, yuk?" ajak Danar, yang diangguki antusias oleh Rama. Keduanya baru akan membincangkan hal lain ketika suara pintu ruangan yang dibuka membuat mereka terusik.

"Mas Danar," sosok Citra muncul dengan wajah ditekuk. Ia terlihat akan menggerutu, namun mengurungkan niat begitu netranya menangkap sosok Rama. "Eh, ada Kak Rama," sapanya, sembari tersenyum sopan.

Rama mengangguk singkat, balas tersenyum.

"Mas, ih!" Citra mengembalikan atensi pada kakak lelakinya, berjalan mendekat lalu mencibir. "Ditanyain Mami, tuh, kapan mau pulang, katanya. Tidur di studio mulu, udah kayak enggak punya rumah."

Mendengar itu, Danar mengerang. "Bilang Mami, gue mau pulang kalo di rumah enggak ditanya kapan nikah mulu."

Tanpa bisa dicegah, tawa tertahan Rama terdengar baik oleh Danar maupun Citra. Keduanya menoleh. Danar mengirim tatapan sengit sementara Rama memasang cengiran dan wajah tanpa dosa.

"Enggak boleh gitu," omel Citra, kembali menatap Danar. "Durhaka, Mas. Inget dosa. Ibu sendiri digituin."

"Ya, abis," balas Danar tidak terima. "Tiap pulang, bahasannya itu mulu. Udah dikasih alesan kayak gimana pun, enggak mempan. Daripada ribut, terus gue durhaka beneran, mending enggak usah ketemu dulu sekalian."

Citra menggelengkan kepala. "Lagian, Mas Danar juga sih. Nunggu apa lagi coba? Umur udah mateng, mapan udah, tabungan juga lebih dari cukupㅡenggak usah ngelak, aku tahu nominal saldo rekening Mas Danar," potong gadis itu cepat begitu melihat Danar akan melayangkan protes.

Tapi di hadapannya, Danar hanya memutar bola mata. "Cit, nikah bukan cuma soal materi."

"Ya, tapi, kanㅡ"

"Lagian, kenapa, sih? Nih, Rama juga udah 27, tapi enggak ada yang ngebawelin dia buat nikah, tuh?!"

"Woi, kenapa gue dibawa-bawa?" sela Rama, tidak terima. Sepasang kakak beradik itu hanya melirik Rama sekilasㅡtanpa memberi jawaban, sebelum kembali pada perdebatan sengit mereka.

"Ya, beda dong, Mas. Kak Rama, sih, pacar aja belum punyaㅡ"

"Cit, maaf-maaf nih, kok jadi ngeledek gue, sih?" keluh Rama, kembali menyela dua orang di hadapannya. Citra menoleh kemudian tersenyum minta maaf.

"Enggak maksud ngeledek, Kak. Cuma memberi contoh," ringis gadis itu. "Tapi bener, kan? Kak Rama, sih, jomlo. Nah, Anda?"

Danar mendengkus. Ia tidak pernah menyukai topik ini. Kenapa, sih, semua orang hobi sekali mencampuri jalan hidupnya?

"Citㅡ"

"Kasian Kak Dara, Mas," cicit Citra akhirnya, terdengar sudah lelah menghadapi kakaknya.

Bohong jika Danar bilang ia tidak terhenyak mendengar nama itu. Dara. Orang yang sudah begitu sabar menghadapi dan mendampingi Danar beberapa tahun belakangan. Orang yang selalu memaklumi Danar, bahkan setiap kali pemuda itu sedang menjadi sangat menyebalkan.

Dan orang,

Yang bertengkar hebat dengannya sekitar tiga hari lalu, setelah menanyakan satu pertanyaan sederhana,

"Kamu ada niatan serius nggak, sih, Nar, sama hubungan kita?"

Danar mengembuskan napas sembari menghindari pandangan dua orang di hadapannya. Saat ini, tiba-tiba saja kepalanya terasa sakit.







Kamu pernah bilang, kalau bahagia itu sederhana.
Bahagia kita, masih sederhana,
...kan?

Landanar Dikta Hardian



***

A quick note:
These are (still) pre stories until the code(s) in the title are gone. Tysm!

Beautiful Us✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang