Suara gemericik air di bak cuci piring menarik perhatian Bara untuk melangkah ke dapur. Ia menutup pintu kamar Chanif dengan hati-hati. Kawannya itu masih tidur pulas, dan Bara memakluminya. Mereka baru kembali ke rumah Chanif pukul dua dini hari tadi dan Chanif langsung jatuh terlelap, sementara Bara tetap terjaga hingga subuh. Isi kepalanya berisik. Bara tidak suka tidur jika kepalanya sedang berisik.
Pandangan Bara beralih pada jam dinding di ruang tengah. Pukul setengah delapan. Kening Bara lalu berkerut, berusaha mengingat. Ini hari Sabtu. Pantas saja, Ajun ada di rumah.
Berniat menyapa kakak temannya, Bara melangkah ke dapur. Suara langkahnya tertangkap indra pendengaran Ajun yang sedang mematikan keran bak cuci piring, membuat lelaki itu menoleh.
"Lah, Chan," katanya kemudian. "Kok lo pucet?"
Tatapan nyalang Bara segera terarah pada Ajun. Bara tidak perlu menjadi pintar hanya untuk memahami ledekan dan sindiran Ajun. Kakak Chanif itu memang suka mengajaknya berperang.
"Bang, masih pagi nih," sungut Bara sembari duduk di salah satu kursi meja makan. Tangannya mengusak rambut hingga berantakan. Di tempatnya, Ajun tertawa sebelum mendekat menghampiri Bara dan ikut duduk di kursi lain.
"Oh, elo, Bar. Kirain Chanif," cengir Ajun. "Lagian, nginep di rumah orang nggak bilang-bilang dulu. Mana gue tahu?"
Bara mendengkus, malas menanggapi celotehan orang di hadapannya. "Iya, sori," balasnya pendek.
Ajun tertawa. "Ke sini jam berapa semalem? Kok gue enggak tahu?"
"Jam dua."
"Mantep. Abis dari mana?"
"Kepo lo, Bang."
Jawaban ketus itu disambut gelak Ajun. Untuk sejenak, lelaki itu tidak menyadari betapa Bara terlihat tidak bersemangat menanggapi segala ocehannya. Tidak seperti biasa.
"Kenㅡ" Lalu Ajun menyadarinya. Sebuah kesadaran yang mencegahnya bertanya. Daripada mempertanyakan alasan, Ajun memutuskan untuk bersikap baik hari ini. "Gue mau keluar dulu, cari sarapan. Lo mau sarapan apa?"
Bara menyipitkan matanya ke arah Ajun. "Tumben baik?"
"Bersyukur, anjir. Jangan ngelunjak!"
Dengkusan tawa Bara terdengar setelahnya. Ia lalu mengangkat bahu. "Ikut aja, Bang."
"Oke." Ajun bangkit berdiri. Rasa penasarannya terusik. Baginya, Bara sudah seperti adiknya jugaㅡmeski lelaki berkulit pucat itu lebih sering membuat Ajun darah tinggi. Ajun tahu, ada yang terjadi. Ia akan menginterogasi Chanif nanti. Itu bukan masalah. "Oh, iya," cetus Ajun tiba-tiba, kembali menatap Bara. "Di laci deket rak piring ada sereal instan. Bikin aja dulu, lumayan buat ganjel perut."
Bara mematung sebentar, sebelum tersadar. "Bang, enggak usah terlalu baik gitu, lah. Gueㅡ"
"Itu udah termasuk sama biaya nginep semalem di rumah ini kok, Bar. Santai aja."
"Anjir!"
Dan tawa Ajun menggelegar di seluruh sudut rumah saat lelaki itu melesat keluar dapur.
***
"Bara mana?" tanya Chanif, segera setelah keluar dari kamar dan hanya menemukan Ajun di ruang depan. Kakaknya itu sedang duduk berselonjor di karpet dengan mata terfokus pada layar ponsel di tangan.
"Kita tinggal serumah udah hampir seperempat abad, kok lo enggak pernah bangun-bangun langsung nanyain gue kayak lo nanyain Bara gini?" balas Ajun, melirik Chanif sekilas, lalu kembali berkutat dengan ponselnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Us✔
Художественная прозаMeet Ajun, who treats everyone kindly but still being failed by the universe, Chanif, who in others' eyes is as bright as the sun, but deep inside has lost his brightness probably long time ago, Danar, who's stubborn and rather stupid for losing som...