17; destined

79 10 3
                                    

"Lo kenal deket, Jun, sama si Nanda?" tanya Haris kala ia dan Ajun menyejajarkan langkah menuju tempat parkir restoran.

Ajun melirik seniornya sekilas sebelum mengangguk. "Lumayan. Jaman kuliah sefakultas, sempet megang Himpunan bareng juga," jelasnya, lalu menoleh penuh untuk mempelajari ekspresi Haris ketika kemudian melanjutkan, "lagian pacarnya Dara temen deket gue, Mas. Makanya lumayan akrab."

Langkah Haris terhenti sejenak. Lelaki itu menoleh sebentar ke arah Ajun, tampak menaikkan alis lalu melanjutkan langkahnya seolah tidak mendengar sesuatu yang besar.

"Oh," tanggapnya kemudian. "udah punya pacar?"

Ajun berdeham sebagai jawaban. Ia mungkin salah mengartikan antusiasme Haris saat bertukar kontak dengan Dara tadi. Atau mungkin juga, Haris hanya sedang menyembunyikan diri.

"Yoi. Udah lumayan lama juga pacarannya," tambah Ajun, kembali berusaha mempelajari raut Haris.

Tapi rupanya Haris hanya tersenyum simpul. Tidak ada yang bisa diartikan dari senyum tipis sang senior hingga tanpa sadar Ajun mengedikkan bahunya. Keduanya lantas menghentikan langkah kala telah sampai di sisi motor Ajun yang terparkir di area parkir timur restoran.

"Langsung balik kantor, kan, Mas?" tanya Ajun sembari mengambil helm. "Coba kalo abis pitching klien ke luar kantor gini boleh enggak balik kantor, ya."

Haris terkekeh. "Bikin kantor sendiri, Jun."

Ajun mendengkus. Ia lantas bergerak memundurkan motornya. Diam-diam, lelaki itu menimbang apakah kehadiran Haris akan berbahaya bagi hubungan kedua kawannya. Kala tersadar ia baru saja mengkhawatirkan sesuatu yang bukan urusannya, Ajun buru-buru mempercepat gerak. Hubungan Danar dan Dara bukan urusannya. Kedua kawannya itu sudah cukup dewasa dan tidak perlu campur tangannya.

Maka, berusaha tak acuh, Ajun menyalakan mesin motornya sebelum memberi isyarat pada Haris agar naik ke boncengan.

"Lo tahu, enggak, Jun?" Haris mendadak bersuara sembari memakai helm dan menaiki boncengan motor Ajun.

"Apa?" tanggap Ajun sambil lalu.

"Si Nanda, tuh, mantan gebetan gue jaman SMA."

Ajun tidak menyahut. Mungkin setelah ini, ia benar-benar harus memperingatkan Danar tentang keberadaan Haris.



***



Ajun baru saja selesai membalas salah satu email klien ketika mendadak ponselnya bergetar menerima panggilan masuk. Setelah memeriksanya sambil lalu dan menemukan nama Danar tertera di sana, ia jadi mempertimbangkan opsi menjawab panggilan tersebut. Lelaki itu memandang berkeliling sejenak, memastikan atasannya tidak berada dalam jarak dekat. Sembari menghela, Ajun akhirnya menggulir pilihan jawab.

"Apa?" sambarnya segera, tidak berusaha berbasa-basi. "Make it quick, ini masih jam kantor."

Kekehan Danar lekas terdengar di telinganya. Membuat Ajun mendengkus tanpa sadar.

"Lo sibuk, enggak, hari ini? Gue mau ngajak jengukin nyokapnya Rama."

"Oh." Perhatian Ajun lantas teralih penuh pada suara Danar, tidak lagi terpaku memerhatikan keadaan. Ajun baru sadar ia melupakan itu, melupakan fakta bahwa salah satu teman dekatnya sedang berada dalam situasi sulit. Dengan kerongkongan yang agak kering, lelaki itu menyahut, "Bisa, sih. Tapi nanti sore, abis gue balik kantor."

Ganti Danar yang mendengkus. "Ya, gue juga tahu," ujarnya malas. "Enggak ada juga yang ngajakin lo cabut sekarang."

Ajun tergelak pelan sembari menolehkan kepala demi memeriksa jam dinding yang tergantung di sisi ruangan. Pukul tiga sore, lewat beberapa menit. Pekerjaannya hari ini tidak banyak. Ia bisa segera meninggalkan kantor segera setelah penunjuk waktu melewati pukul lima sore nanti.

Beautiful Us✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang