Kantin Masjid Utama Kampus.
Chanif mendudukkan diri di salah satu meja yang kosong di sudut kemudian memandang berkeliling. Tidak banyak yang berubah sejak terakhir kali ia berkunjung beberapa bulan lalu. Tempat itu tetap ramai di jam-jam tertentu dan menjadi persinggahan mereka yang baru saja keluar dari masjid atau perpustakaan pusat kampus.
Tersenyum pada dirinya sendiri, pemuda itu lantas merogoh saku jinnya demi mengeluarkan ponsel. Berniat menghubungi seseorang yang menjadi alasannya bertandang ke kampus hari ini.
"Gue udah di kantin As-Salam. Lo udah selesai?"
Sent.
Chanif meletakkan ponselnya di meja sebelum memerhatikan sekitarnya sekali lagi. Suasana cukup lengang. Menjelang sore hari, selepas salat asar, kantin jelas lebih sepi dibanding kala jam makan siang. Chanif cukup merindukan suasana ini. Lingkungan kampus yang ramai dengan lalu-lalang orang namun tidak membuatnya terusik. Setelah lulus dari kampus beberapa bulan lalu, ia tidak punya banyak alasan untuk terlalu sering berkunjung. Karenanya, ketika Citra kembali mengusulkan area kampus sebagai tempat pertemuan, Chanif menyetujuinya dengan segera.
Citra.
Benar. Gadis itulah yang akan Chanif temui hari ini.
Tepat saat Chanif memikirkan nama itu, getar ponselnya beradu dengan meja kantin, membuat perhatiannya lekas teralih. Bergegas, ia memeriksa ponselnya.
Satu pesan masuk dari Citra.
"Otw. Bentar lagi nyampe, wait."
Senyum Chanif kian semringah. Ia tidak mengerti sejak kapan, namun perlahan, ia tidak lagi terlalu ambil pusing tentang kehadiran Citra. Tentang perasaan nyaman yang membuatnya mampu berbagi banyak kisah pada gadis itu. Atau rasa senang yang muncul tanpa peringatan setiap kali mereka bertukar cerita.
Mungkinkah ia ... jatuh cinta?
Tidak.
Terlalu dini untuk menyimpulkan sesuatu yang sedalam itu.
Mereka masih dalam tahap berteman. Saling mengenal satu sama lain. Meski Chanif mengakui, ia belum pernah memiliki hubungan pertemanan yang seakrab ini dengan seorang perempuan, ia tetap tidak ingin terburu-buru menerjemahkan perasaan.
"Enggak lama, kan?"
Suara itu diiringi kemunculan sosok Citra yang tersenyum lalu mendudukkan dirinya di hadapan Chanif. Membuat Chanif refleks ikut menyungging senyum. Lelaki itu menggelengkan kepala.
"Enggak. Gue, kan, juga baru nyampe."
"Abis hunting lagi?" tanya Citra sembari meletakkan tasnya di atas meja.
Chanif kembali menggeleng. "Abis ketemu orang, bahas desain logo."
"Oh," Citra bersuara takjub. "Klien?"
"Terlalu keren kalo nyebutnya klien," gurau Chanif dengan gelak kecil. "Orang masih temennya temen gue, kok."
"Loh, tapi, kan, bener. Pengguna jasa kamu disebutnya apa kalo bukan klien?" goda Citra.
Chanif menggeleng, tersenyum simpul. "Mau mesen dulu, enggak? Makan, minum? Gimana bimbingannya?"
"Bener, aku laper," cetus Citra sambil menjentikkan jarinya. "Bimbingan, ya, gitu, deh," lanjutnya sambil lalu. "Aku mau pesen ayam penyet, kamu mau apa? Biar sekalian aku pesenin."
"Samain aja, tapiㅡ"
"Sambelnya dipisah?" terka Citra segera.
Tepat sasaran. Karena senyum Chanif lantas merekah sempurna. Kepalanya mengangguk sewaktu ia membalas, "Seratus."
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Us✔
General FictionMeet Ajun, who treats everyone kindly but still being failed by the universe, Chanif, who in others' eyes is as bright as the sun, but deep inside has lost his brightness probably long time ago, Danar, who's stubborn and rather stupid for losing som...