"Jadi, ada apa?"
Nada bicara Citra terdengar ringan. Tapi bagi Chanif, itu tidak menolong. Matanya tidak bisa berhenti mengawasi jam dinding di ruang tamu. Juga sosok Danarㅡyang hanya terlihat ujung lengannyaㅡdi balik pintu.
"Gue di teras, ya. Pintu depan dibiarin kebuka aja, jangan ditutup. Biar enggak menimbulkan fitnah," kelakar Danar tadi sebelum meninggalkan Citra dan Chanif hanya berdua di ruang tamu.
Mengingat kalimat itu membuat Chanif ingin menenggelamkan diri di ubin.
"Chan?" Suara Citra terdengar lagi.
Chanif melirik jam dinding. Pukul setengah sepuluh kurang beberapa menit. Ia harus segera menyelesaikan urusan sebelum malam semakin beranjak larut.
"Kamu ngapain tiba-tiba ke sini malem-malem?" tanya Citra. "Padahal belakangan ini tiap di-chat jarang bales."
Kalimat penutup itu terdengar jauh lebih pelan dibanding yang sebelumnya. Membuat Chanif meringis samar seperti orang sakit gigi. Dugaannya benar. Citra bukan gadis bodoh. Perempuan itu pasti menyadari Chanif sedang menghindarinya beberapa hari ke belakang.
"Aku pikir kamu marah. Atau, aku bikin salah apa yang aku enggak sadar? Kamu jadi aneh sejak kita ketemu di rumah sakit waktu itu. Padahalㅡ" monolog Citra berhenti.
Dari ekor matanya, Chanif menangkap bagaimana gadis itu melirik ke arah pergelangan tangannya. Menyebabkan Chanif melakukan hal serupa, sebagai balasan. Seketika, lelaki itu kesulitan menahan keinginan untuk tidak menarik sudut bibirnya dan membentuk senyuman.
Citra juga tidak melepaskan gelang sialan itu.
Sialan
Chanif mengalihkan pandang sejenak, berupaya menguasai diri. Kala ia kembali menoleh pada Citra, tatapan keduanya bertemu. Chanif berdeham pelan, dalam usaha mengusir kering dari tenggorokan.
"Enggak, itu," katanya pelan-pelan. "gue kemaren lagi sibuk aja. Banyak kerjaan."
"Oh," tanggap Citra, menganggukkan kepala.
Raut gadis itu tidak berubah. Seolah ia menerima penuh jawaban setengah dusta dari Chanif sebagai kejujuran. Dan karenanya, Chanif menghela lega. Berusaha mengabaikan air liurnya yang terasa pahit setelah berbohong.
"Gue ke sini ..." Dalam gerakan samar, Chanif memasukkan satu tangannya ke dalam saku jaket yang ia kenakan. Menyentuh sesuatu yang memang sengaja ia letakkan di sana. Cukup lama, menimbang dalam diam. Haruskah sekarang? "Cit, lo kenapa masih pake itu?" tanyanya kemudian, melenceng dari niat awal pembicaraan.
Citra mengikuti arah telunjuk Chanif yang tengah menunjuk pergelangan tangannya. Pada gelang berbandul yang memang tidak pernah ia lepaskan sejak Chanif memasangkannya di sana.
"Karena ..." Citra menggigiti bibir bawahnya, tampak ragu. "... kamu nyuruh wear these in pair?" Gadis itu bersuara ragu, sembari mengangkat tangannya sendiri serta mengedik ke arah gelang di pergelangan Chanif.
"Oh," Chanif bersuara bodoh. "iya. Wear in pair," ulang Chanif. Lalu menggeleng. "Bukan gue yang nyuruh, tapi kartunya."
Lalu hening.
Chanif mengeluh pelan, memaki dalam hati karena pertanyaannya tadi hanya membuat suasana semakin canggung. Memutuskan untuk berhenti membuang-buang waktu, lelaki itu lantas menarik keluar satu benda yang sejak tadi berdiam dalam saku jaketnya. Sebuah flash drive berwarna hitam.
"Ini," tangan Chanif terulur, mengangsurkan benda mungil itu ke arah Citra. "gue ke sini mau ngasih ini."
Tatapan Citra jatuh pada flash drive hitam itu. Ragu-ragu, ia mengambilnya dari tangan Chanif. Pandangannya lalu beralih ke wajah Chanif yang tidak terbaca. Setelah beberapa sekon yang terasa panjang, Citra bertanya,
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Us✔
General FictionMeet Ajun, who treats everyone kindly but still being failed by the universe, Chanif, who in others' eyes is as bright as the sun, but deep inside has lost his brightness probably long time ago, Danar, who's stubborn and rather stupid for losing som...