2O; benang merah

86 11 4
                                    

Belum seberapa larut ketika Bara tiba di tempat tinggalnya yang baru. Ia sudah pindah sejak tiga hari yang lalu. Namun, selama tiga hari terakhir, shift kerjanya justru kacau balau akibat menggantikan seorang rekan yang mengajukan izin sakit. Karenanya, Bara lebih banyak menghabiskan hari-harinya di tempat kerja. Pun ketika ia pulang, ia lebih sering berdiam di dalam demi mengistirahatkan tubuh lelahnya. Itu sebabnya ia belum mengenal siapa pun di lingkungan sekitar.

Bara memutar kunci lalu mendorong pintu terbuka. Kecuali lampu depan yang menyala, ruangan di dalam gelap total. Tempat tinggal barunya terlihat seperti rumah kontrak dari luar, berjajar tiga rumah dengan posisi bangunan yang ia tempati berada di paling kanan. Tapi menurut Bara, tempat itu lebih mirip kamar indekos dibanding rumah. Isi dalamnya hanya dua petak ruangan kecil selain kamar mandi dan tempat mencuci di bagian belakang. Tidak ada ruangan khusus seperti kamar tidur. Hanya saja petak ruangan yang terletak lebih di dalam sepertinya memang difungsikan sebagai bagian yang lebih privat untuk beristirahat.

Bara melangkah masuk, menutup kembali pintu di belakangnya lalu menguncinya. Tangannya menghidupkan lampu, membuat sekitarnya terang benderang. Setelah melepas sepatu di dekat pintu, lelaki itu memerosotkan tubuhnya ke lantai, bersandar pada dinding. Lelah. Tubuhnya penat. Ia bahkan sudah merebah di lantai dingin tanpa membuka jaket yang membalut tubuh atau mengganti baju. Persetan dengan bunyi perutnya yang belum sempat diisi sejak siang tadi. Bara memejam sebentar, menduga ia akan segera jatuh tertidur hanya dalam beberapa detik setelah pandangannya gelap.

Tapi itu tidak terjadi.

Ketukan halus di pintu membuat matanya kembali terbuka lebar.

"Permisi."

Sebuah suara terdengar dari luar. Suara perempuan. Bara bangkit duduk, benaknya berusaha menerka siapa yang mungkin ada di balik pintunya. Ia tidak mengenal siapapun di lingkungan ini, tidak ada yang mungkin bertamu, terutama di jam seperti ini.

"Permisi," suara itu terdengar lagi, diiringi ketukan lain di pintunya. "Mas Bara, ini saya Bu Imam."

Bara mengembuskan napas. Ia sudah hendak berpura-pura tidak mendengar karena terlalu lelah untuk bangkit dan membuka pintu. Tapi yang berada di balik pintu rupanya pemilik indekos iniㅡseorang wanita yang seusia dengan ibunya. Mengira ada sesuatu yang penting, Bara lekas berdiri dan membuka pintu.

"Maaf ganggu, ya, Mas Bara," ujar Bu Imam, sembari tersenyum. "Baru pulang, ya?"

Kepala Bara terangguk. Bibirnya tersenyum tipis dalam usaha berbasa-basi di tengah letih yang mendera. "Iya, Bu. Ada apa, ya?"

Bu Imam mengulurkan sebungkus plastik di tangannya ke arah Bara. "Ini, Mas. Ada sedikit buat Mas Bara."

Bara mengerutkan kening, bingung. Entah karena tubuhnya yang sedang terlalu lelah hingga otaknya kurang berfungsi atau ia memang terlalu bodoh untuk mengerti, Bara mengerjap sejenak sebelum menyuarakan pikirannya dalam pertanyaan. "Gimana, Bu?"

Bu Imam tertawa kecil. "Tadi sore di rumah saya ada acara. Ini kateringannya sengaja udah dipisahin buat anak-anak kontrakan. Yang lain udah saya bagiin dari tadi sore, Mas, tapi Mas Bara enggak ada." Wanita itu berhenti sebentar lalu menunjuk ventilasi pintu. "Tadi enggak sengaja lewat, liat lampunya udah nyala. Makanya saya anterin."

Di antara rasa kantuk dan letih di tubuhnya, Bara menggumam tanda paham.

"Ini diambil, Mas. Atau udah makan malem, ya?"

Tangan Bara akhirnya terulur demi menerima pemberian sang induk semang. "Belum, sih. Makasih, ya, Bu. Maaf jadi ngerepotin pake dianterin segala."

"Enggak pa-pa, Mas Bara. Sekalian bagi-bagi rejeki," sahut Bu Imam ramah. "Kalau perlu bantuan apa-apa langsung ke rumah aja, ya, Mas, enggak usah sungkan."

Beautiful Us✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang